Yogyakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air harus mengacu pada amanat Mahkamah Konstitusi mengenai prinsip dasar pengelolaan sumber daya air agar tercipta pengelolaan berkelanjutan, kata Direktur Center for Regulation, Policy and Governance Mohamad Mova AlAfghani.
"Regulasi tersebut juga perlu memfasilitasi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sehingga dapat menjadi payung hukum untuk menjawab tantangan yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia terkait pengelolaan sumber daya air (SDA)," katanya di Yogyakarta, Rabu.
Di sela Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia 2017, Mova mengatakan ada beberapa hal penting dalam pembentukan kebijakan RUU SDA yang perlu diperhatikan agar tetap mengacu pada enam prinsip dasar pengelolaan SDA yang diputuskan MK.
Oleh karena itu, perlu definisi SDA yang jelas, menjaga agar akses pada SDA untuk kebutuhan masyarakat umum tidak terhalangi, memastikan kepentingan semua pemangku kepentingan terjaga, dan mendorong semua pihak untuk berperan mewujudkan pengelolaan SDA berkelanjutan.
"Definisi usaha dan pengusahaan perlu penajaman, tidak melihat aspek keuntungan saja tetapi juga volume. Air untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) seharusnya tidak dikategorikan sebagai pengusahaan karena terkait hak atas air," katanya.
Menurut dia, batasan dan syarat tertentu dan ketat dalam putusan MK justru terkait pengusahaan. Dalam RUU SDA disebutkan bahwa SPAM izinnya hanya diberikan kepada BUMN/BUMD saja sehingga menutup kemungkinan masyarakat dan swasta berkiprah dalam penyediaan akses bagi publik secara luas.
Selain itu, Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disetarakan dengan SPAM. Padahal, hal itu tidak sesuai dengan Human Right to Water (HRTW) di mana akses bagi masyarakat harus melalui air perpipaan yang bisa diminum dengan harga terjangkau.
"Pengutamaan BUMN/BUMD di atas Unit Pengelola Teknis/Unit Pengelola Teknis Daerah (UPT/UPTD) dalam hal SPAM tidak tepat. Justru hak penguasaan negara lebih dapat dilaksanakan pada UPT/UPTD bukannya BUMN/BUMD karena merupakan entitas terpisah," kata Mova.
Ketua Departemen Teknik Geologi FT UGM dan Ketua Groundwater Working Group (GWWG) Heru Hendrayana mengatakan sesuai prinsip MK, pengendalian izin dilakukan pemerintah atas pertimbangan aspek ketersediaan SDA untuk menjamin keadilan dan daya dukung lingkungan hidup.
"Pengendalian izin harus dimaknai bahwa setiap orang atau badan hukum usaha yang telah memenuhi persyaratan dapat memohon izin kepada pemerintah. Pengendalian izin juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjamin tidak adanya monopoli terhadap izin pengusahaan air bagi perorangan atau badan hukum tertentu," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus menyediakan data berupa neraca SDA pada setiap cekungan air tanah dan wilayah sungai serta melakukan pembaharuan data secara berkala. Dalam penyediaan data itu pemerintah dapat melibatkan universitas, swasta, dan masyarakat.
Data itu dapat digunakan untuk memonitor perkembangan ketersediaan SDA. Untuk memastikan ketersediaan SDA tersebut, dalam RUU SDA harus dimasukkan syarat-syarat tertentu yang ketat sesuai prinsip kelima dan keenam MK.
"Hal itu dapat menggunakan syarat-syarat seperti tercantum di dalam Peraturan Pemeritah Nomor 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air, pasal 61 dan 70 serta dengan menambah persyaratan semua izin alokasi penggunaan air harus didasarkan pada hasil studi kelayakan hidrogeologi atau hidrologi yang dilakukan pemerintah atau swasta yang disetujui pemerintah," kata Heru.
(U.B015/S024)
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017