Jakarta (ANTARA News) - Ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Paripurna mengenai dukungan pemerintah terhadap Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB tentang perluasan sanksi nuklir terhadap Iran seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. "Jika kita bicara demokrasi, maka kita bicara aturan main. Dalam tata tertib (tatib) DPR RI disebutkan bahwa keterangan Presiden bisa diwakilkan kepada menteri," kata pengamat politik Mohammad Qodari di Jakarta, Selasa. Qodari mengatakan, berdasarkan aturan yang ada, Presiden telah melakukan langkah benar dengan mengirimkan sejumlah menterinya. "Saya kira dengan mengirimkan banyak menterinya, itu justru menunjukkan bahwa pemeritah punya penghargaan kepada DPR. Presiden tidak hanya mengirim satu menteri. Jika dalam rapat paripurna bobot politiknya meluas, maka seluruh pertanyaan bisa dijawab," ujarnya. Ia menjelaskan, sebenarnya jika dilihat dari substansinya, tidak ada masalah apakah presiden atau menteri yang datang dalam rapat paripurna tersebut. "Tak perlu dipermasalahkan, kecuali jika Presiden melanggar tatib dan aturan main. Justru jika DPR masih saja mempermasalahkannya, masyarakat bisa saja kecewa karena DPR seolah-olah memaksakan kehendak. Dalam demokrasi yang bermain adalah aturan main," tegasnya. Lebih lanjut, Qodari menilai jawaban Presiden dan menteri adalah sama, yakni sama-sama jawaban dari pemerintah. Jika jawaban pemerintah tidak memuaskan, masyarakat akan kecewa dengan pemerintah di antaranya berdampak pada popularitas pemerintah. Namun, jika jawaban pemerintah mengenai alasan pengambilan kebijakan mendukung Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB tersebut, maka persoalan bisa dianggap selesai. "Sebenarnya interpelasi ini adalah mempertanyakan kebijakan pemerintah. Jawaban memuaskan atau tidak memuaskan ujung-ujungnya adalah dampak politik. Tidak ada pelanggaran hukum, hanya implikasi politik," ujar Qodari.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007