Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat gambaran lebih jelas terkait indikasi transaksi keuangan pada proyek KTP-elektronik (KTP-e) dengan tersangka Setya Novanto.
KPK pada Rabu memeriksa satu saksi dari unsur swasta, Nenny sebagai untuk tersangka Setya Novanto dalam penyidikan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-e) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri.
"Untuk kasus KTP-e sampai hari ini, kami terus melakukan kegiatan penyidikan kami periksa satu orang saksi tadi dari pihak swasta. Kami semakin mendapat gambaran yang lebih jelas terkait dengan indikasi transaksi keuangan dalam proyek KTP-e ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Febri menyatakan bahwa para saksi yang diperiksa KPK dalam beberapa hari ini juga memberikan informasi tentang apa yang mereka ketahui terkait adanya indikasi transaksi keuangan pada proyek KTP-e itu.
"KPK akan terus mengejar indikasi aliran dana pada sejumlah pihak untuk kepentingan pemulihan kerugian keuangan negara. Jadi, penanganan kasus KTP-e masih terus kami proses sampai hari ini," ucap Febri.
Sebelumnya, Setya Novanto yang sedianya akan diperiksa KPK sebagai tersangka dugaan kasus proyek KTP-e pada Senin (11/9) tidak hadir dikarenakan sakit.
KPK pun akan menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap Setya Novanto pada minggu depan.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.
KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Setya Novanto juga telah menjagukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sidang perdana praperadilan Novanto yang sedianya dijadwalkan pada Selasa (12/9) ditunda dan dijadwalkan kembali pada Rabu (20/9).
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017