Jepara (ANTARA News) - Sebanyak 13 organisasi dan sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Muria (FMM), saat melakukan Aksi akbar menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di lapangan Ngabul, Jepara, melayangkan Petisi 13 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa. Petisi 13 yang dibacakan oleh salah seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Kebngkitan Bangsa (PKB_, Mufid A. Bsyairi, menyatakan bahwa merupakan tekad semua masyarakat Jepara, Kudus, Demak, Rembang, dan Pati, untuk melawan Pemerintah yang akan membangun PLTN di Dukuh Ujung Lemahabang Desa Balong, Kecamatan Kembang, Jepara, pada 2010, agar segera dibatalkan. Aksi di lapangan Desa Ngabul, Kecamatan Tahunan, Jepara, itu juga dihadiri oleh Kordinator Green Peace Asia Tenggara, Emmy Hafild. Dalam orasinya, dia menyatakan, teknologi mega proyek dibangunnyan PLTN tersebut merupakan sampah yang dibuang ke Indonesia, karena Amerika Serikat (AS), Jepang, dan sejumlah negara Eropa lainnya sudah tidak lagi menggunakan. "Lagi pula, Indonesia kaya akan energi lain yang ramah lingkungan, seperti energi matahari, angin, ketela pohon, minyak jarak, kelapa sawit, dan masih banyak energi lain. Untuk itu, masyarakat harus berani menolak ide gila ini. Kita pantas melawan," katanya. Aksi akbar menolak pembangunan PLTN yang disertai dengan doa bersama tersebut, diikuti oleh ribuan masyarakat dari berbagai lapisan warga Jepara dan sekitarnya, bahkan mereka antusias mengikuti acara tersebut meski di bawah terik panas matahari. Adapun yang melakukan penolakan terdiri dari seniman dan budayawan, pengusaha, ulama dan tokoh agama, aktivis lingkungan, politisi, dan perkumpulan profesi. Aksi yang bertujuan untuk membuka wawasan masyarakat yang belum paham PLTN tersebut juga diramaikan oleh grup musik Sampak Gusuran dari Pati yang mendendangkan lagu sindiran ke pemerintah. Sementara itu, pengamat energi dari lembaga reformasi pelayanan publik, Fabby Tumewa, mengatakan bahwa risiko terbesar dari pendirian PLTN ini adalah kecelakaan reaktor. "Untuk reaktor yang menghasilkan tenaga 650 MW, dalam setiap menit butuh air sebanyak 2,5 juta liter. Jika reaktornya banyak, bisa dihitung berapa air yang diperlukan untuk pendingin reaktor tersebut," katanya. Menurut dia, air yang biasa digunakan untuk pendingin adalah air laut. Persoalannya, jika air untuk pendingin dibuang lagi ke laut, akan menimbulkan dampak ekologis. "Peristiwa Chernobyl di Ukraina tahun 1986 sebaiknya kita jadikan pelajaran berharga bagi pemerintah untuk meninjau lagi pembangunan PLTN," katanya. Sedangkan, budayawan Emha Ainun Najib yang ikut meramaikan acara tersebut, menyakinakn peserta aksi untuk tegas menolak PLTN, karena banyak keburukannya dibanding kebaikannya. Pernyataan serupa juga diungkapkan musisi Franky Sahilatua, dan mengajak masyarakat harus berani menolak dan melakukan perlawanan. "Aksi ini merupakan bagian dari meriam yang dipersiapkan. Kita masih membutuhkan banyak meriam lagi," katanya. Franky juga sempat menyanyikan sejumlah lagu dengan sair lagu menolak keras rencana pembangunan PLTN di Jepara ini. Tak pelak, kemerduan suaranya membuat peserta aksi yang sudah kepanasan kembali bergairah dan bersama-sama menirukan sair lagunya sambil menggoyangkan badan. Ketua Masyarakat Rekso Bumi (Marem), Lilo Sunaryo, mengatakan bahwa dari 432 PLTN di dunia yang ada saat ini, sepuluh di antaranya mengalami kebocoran reaktor. Hal ini sangat membahayakan bagi lingkungan di sekitarnya. "Apalagi, radiasi yang ditimbullkan oleh nuklir itu bisa menembus ke sel manusia dan mematikan sel tanpa terlihat, berasa, dan berbau. Bahkan, bisa mengakibatkan cacat pada janin. Sangat kita syangkan, pemerintah tidak membeberkan bahaya dari pembangkit listrik dengan bahan baku uranium tersebut ketika melakukan sosialisasi," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007