Pada masa awal transformasi pada 2006 lalu, kami sempat membuat survei perilaku di internal Pertamina, kesimpulannya adalah Pertamina itu sarang korupsi!

Kata "Pertamina" sudah menjadi kata yang sangat umum di Indonesia, dari kota besar sampai wilayah pedesaan.

Sejarah mencatat Pertamina lahir dari Permina (Perusahaan Minyak Nasional) pada 10 Desember 1957 sebagai perusahaan yang dibentuk pemerintah dalam keadaan darurat, untuk pengamanan operasinya pemerintah menugaskan Angkatan Darat.

Adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution dan Deputi Operasi Kolonel yang juga seorang dokter, Dr Ibnu Sutowo, sebagai penggagas dan pendiri Permina. Pendirian Permina ditujukan untuk mengatasi masalah keamanan dan politik karena kisruh kegiatan minyak yang ditinggalkan Shell di Aceh dan Sumatera Timur pada 1950-an.

Pertamina dengan dukungan AD, berhasil melakukan akusisi seluruh aset perusahaan minyak Shell pada 1966 dan kilang minyak Stanvac pada 1969.

Namun saat masih dipimpin Ibnu Sutowo pulalah Pertamina pernah mengalami krisis keuangan parah pada 1974. Pertamina terlilit utang sebesar 40 juta dolar AS ke bank-bank di AS, utang sejumlah 65 juta dolar AS ke konsorsium Bank Kanada hingga total utang pada 1975 mencapai 10,5 miliar dolar AS atau setara 30 persen GDP saat itu (seperti disampaikan Baihaki Hakim dalam buku The Lone Ranger: Lekak-liku Transformasi Pertamina).

Pertamina selama 15 tahun sejak 1968-1983 oleh pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun dinilai dengan istilah No Opinion alias Tak Bisa Dikomentari dalam perkara kebersihan dan kesehatan keuangan. Pangkal persoalannya ternyata tak ada sistem manual keuangan Pertamina.

Pada 20 Mei 1975, Menteri Pertambangan dan Energi Mohammad Sadli mengungkapkan pengeluaran dana Pertamina ternyata sebagian besar tidak ekonomis dan tidak ada hubungan dengan fungsi Pertamina. Akhirnya Ibnu Sutowo pada 1976 diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, meski demikian misteri turunnya Ibnu Sutowo sampai kini belum terungkap utuh.

Bagaimana tingkah polah Pertamina kini? Sudahkah Pertamina mengelola dengan transparan asetnya yang sebesar 47,23 miliar dolar AS (per 2016) atau setara 0,05 GDP Indonesia dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi 27.318 orang karyawannya?


Bersih-bersih

"Pada masa awal transformasi pada 2006 lalu, kami sempat membuat survei perilaku di internal Pertamina, kesimpulannya adalah Pertamina itu sarang korupsi!" kata Chief Legal Councel and Compliance Pertamina Genades Panjaitan dalam wawancara dengan Antara pada akhir Agustus.

Sejak 2006, pada masa kepemimpinan Ari Soemarno, Pertamina mulai mencanangkan program transformasi dengan berbagai jatuh bangun dalam upaya membangun sistem pencegahan korupsi.

Selanjutnya pada 2009, Pertamina membuat peta jalan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance- GCG) yang dibuat dalam beberapa fase hingga 2015. Peta jalan itu termasuk panduan dewan komisaris dan direksi Pertamina, pedoman pelaporan gratifikasi, pedoman benturan kepentingan, pedoman laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), pedoman Whistleblowing System (WBS) hingga pedoman Compliance Online System yang masing-masing mencapai puluhan lembar.

Tidak ketinggalan Pedoman Perilaku yang bersumber dari Tata Nilai Unggulan 6C yaitu "Clean, Competitive, Confident, Customer Focused, Commercial dan Capable".

"Khusus untuk clean ini kami sampai membentuk breakthrough project, jadi fokusnya bukan hanya untuk fisik atau kegiatan bisnis tapi juga tema fundamental yaitu aspek perilaku, di situlah dibangun fondasi-fondasi secara sistematis pencegahan korupsi," tambah Genades.

Menurut Genades, pedoman untuk menjaga integritas pegawai di Pertamina sudah mencapai ribuan, namun tim "breakthrough project" masih terus menelaah satu per satu celah pedoman itu untuk kemudian membenahi agar tidak sampai menimbulkan kesempatan pegawai melakukan korupsi.

Setelah pedoman diperbaiki, maka aturan baru disosialisasikan supaya bisa diinternalisasi oleh insan pertamina.

"Kami juga melakukan pelatihan dan workshop, boleh dikatakan dari pintu ke pintu mengenai hal ini. Kami juga punya teknologi jadi kami lakukan training online juga untuk GCG. Kemudian melalui leaflet, banner, poster, broadcast internal supaya perilaku-perilaku antikorupsi itu bisa terkomunikasikan dengan baik karena prosesnya memang harus dipahami dulu, setelah dipahami baru dilakukan. Ini memang proses standar sebenarnya untuk mencoba mengubah perilaku," tambah Genades.

Salah satu program berbasis teknologi yang dilakukan Pertamina adalah Whistle Blowing System (WBS). Selama 2016 terdapat 69 pengaduan kasus.

Dari jumlah tersebut 17 kasus selesai ditindaklanjuti sedangkan sisanya masih dalam proses. Selama tahun 2016 tim WBS telah melakukan tindak lanjut atas 34 kasus, termasuk kasus yang berasal dari periode sebelumnya.

Beberapa kasus yang belum diselesaikan masih dalam proses investigasi atau masih dalam proses pemberian sanksi oleh Komite Disiplin Perusahaan. Salah satu kasus yang diungkap dari laporan WBS adalah soal pencurian minyak di atas kapal yang mengakibatkan kerugian perusahaan mencapai Rp22 miliar dalam waktu enam bulan. Hasilnya ada 22 orang karyawan yang dipecat.

Audit WBS ini pun dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Bagi masyarakat atau bahkan pegawai Pertamina yang menangkap indikasi kecurangan dapat mengadukannya melalui SMS, telepon, email, website maupun faksimile.

"Memang masih banyak perilaku kecurangan di perusahaan, nah kami memberikan sinyal ke pekerja bahwa hal itu salah sehingga harus diberi hukuman. Sudah puluhan pekerja yang di-PHK karena ada di laporan WBS ini, belum lagi didemosi atau diberikan surat peringatan," ungkap Genades.

Dalam waktu dekat, Pertamina dan KPK juga akan melakukan investigasi acak terkait dengan penerimaan gratifikasi di salah satu unit Pertamina yang mengurusi gas dan satu anak perusahaan.

"Apa iya tidak ada gratifikasi misalnya di fungsi pengadaan karena dari laporan penerimaan gratifikasi kok minim saja? Karena dari data gratifikasi cenderung menurun pelaporannya, saya juga agak bingung juga apakah memang karena kesadaran sudah membaik jadi tidak ada lagi pemberian atau dia tidak mau lapor, ini yang sedang kita cek," tambah Genades.

Dalam pelaksanaan perbaikan sistem itu, menurut Genades, karyawan Pertamina memang tidak ada yang terang-terangan melawan, tapi ia merasakan keluhan yang disampaikan di belakang.

Salah satu contoh adalah perubahan sistem perjalanan dinas dari "lump sum" (pembayaran yang dilakukan sekaligus dalam satu waktu) ke sistem "at cost" (biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah). Dengan "lump sum", pegawai dapat memilih menginap di hotel murah dan menyisihkan lebih banyak sisa uang perjalanan untuk keperluan pribadinya, sedangkan dengan sistem "at cost", karyawan hanya mendapat sedikit uang jajan karena biaya hotel yang ditanggung harus sesuai dengan bukti kuitansi.

"Mereka menggerutu tapi tidak terang-terangan, ada juga yang mempersoalkan penggunaan mobil dinas, jadi umumnya terkait fasilitas pekerja yang tadinya ada celah untuk dimanfaatkan pekerja sekarang jadi tidak ada," tambah Genades.

Tidak ketinggalan perlawanan dari para vendor atau mitra kerja yang kadang juga saling menjatuhkan bila kalah dalam tender di Pertamina yang semuanya sudah menggunakan sistem elektronik bernama procure-to-pay (P2P).

Sistem ini membuat vendor tidak perlu lagi datang ke kantor Pertamina untuk menawarkan jasa maupun menagih uang pembayarannya yang sudah berjalan setidaknya 2 tahun terakhir.

"Misalnya di pengadaan, kita sudah membuat sistem yang transparan dan cepat jadi semua fair, tapi kontraktor A melaporkan kontraktor B, malah sistem WBS ini jadi sarana untuk saling merecoki karena mungkin tadinya peserta itu sudah terbiasa mendapatkan pekerjaan itu karena kenal orang dalam, tapi karena sistem sudah transparan, kontraktor itu tidak bisa kompetitif dan dicari-carilah kesalahan pihak lain. Ini yang saya katakan diam-diam menentang karena meributkan seolah-olah sistem ini tidak berjalan, kalau kita tidak diproses kami juga salah, yah inilah dampak dari perubahan," jelas Genades.

Memang tidak semua unit dan anak perusahaan Pertamina yang totalnya berjumlah 133 perusahaan itu sudah punya WBS. Genades pun mengaku bahwa ia masih terus mendorong agar perusahaan yang belum punya sistem WBS dapat menumpang ke sistem pusat, tapi ia yakin tidak ada jalan lain selain maju terus menegakkan sistem yang ia yakini tersebut, tidak ada kata mundur.

Dari perbaikan sistem tersebut, skor GCG Pertamina tahun 2016 mencapai 94,62, sedikit meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar 94,50.

"Kategori 90 itu sudah sangat bagus tapi saya tidak yakin bicara perilaku menggambarkan begitu. Baru saya sadari oh penilaian mereka itu lebih ke pendokumentasian, tapi yang saya bicara tadi itu sistem, sistem kita mungkin sudah mendekati ideal tapi korupsi bukan hanya sistem, tapi implementasinya bagaimana?" tegas Genades.


Agen perubahan

Setelah sistem di internal perusahaan sudah diperbaiki lalu apa selanjutnya yang dapat dilakukan Pertamina dalam mendorong sistem antikorupsi?

"Sebaik apa pun sistem kalau diintervensi dengan mental manusianya yang jelek akan susah, jadi yang paling fundamental dan kami kejar dari sistem mentalnya. Karena kalau sistemnya bagus tapi mentalnya bobrok ya susah," kata Direktur Sumber Daya Manusia, Teknologi Informasi dan Umum Pertamina, Dwi Wahyu Daryoto dalam wawancara pada awal Agustus.

Salah satu cara untuk membentuk budaya baru antikorupsi di Pertamina adalah dengan pembentukan Culture Change Agent (CCA) baik di pusat maupun unit dan anak perusahaan Pertamina. CCA mengawali debut pada akhir 2012 melalui jalur resmi yaitu berdasarkan "Memo Imbauan Melakukan Program Budaya" dengan anggota awal 40-70 orang. Salah satu program awal adalah pembentukan CAMAT sebagai akronim dari "Change Agent Management Team".

Pembentukan CCA adalah bagian dari Program Transformasi Pertamina untuk menggerakkan perubahan budaya di lingkungan terdekat dulu yaitu fungsi setingkat manajer. Setiap fungsi diminta untuk membuat program khas untuk menjawab hambatan budaya yang muncul di masing-masing fungsi. Tiga prinsip yang dipegang CCA adalah (1) mengetahui hal yang baik dan benar, (2) melaksanakan hal-hal yang baik dan benar dan (3) membantu orang lain mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang baik dan benar.

Selanjutnya pada 2013 CCA mulai mencari anggota baru dengan cara penunjukkan maupun sukarela melalui "open recrutiment" dengan makin mengaktifkan agen-agen perubahan budaya di setiap unit dan area yang total anggotanya 500 orang dengan keaktifan sekitar 100 orang.

Baru pada 2015 dengan anggota aktif sekitar 120 orang --meski anggota tercatat adalah 600 orang-- CCA mulai melakukan kegiatan aktivasi budaya untuk menciptakan "leaders in action".

Khusus untuk CCA di kantor pusat yang sehari-hari disebut sebagai CCA Monas dimulai pada 2016 sebagai wadah komunikasi dan koordinasi lintas CCA di kantor pusat.

Sosialisasi kegiatan CCA juga dilakukan melalui media sosial bagi facebook maupun instagram (IG) dan twitter. Salah satunya adalah akun IG @cca.pertamina.

"Harapan kami sesungguhnya adalah dapat breaking the silos antarfungsi sehingga berpikiran sebagai satu helikopter yang utuh yaitu Pertamina," kata CEO alias Ketua CCA Monas Johan Hadi Pranoto. Jabatan pekerjaan Johan sesungguhnya adalah Analyst Communitaction IT Change Management Business Demand, CSS, Direktorat SDM dan Umum Pertamina.

Sejumlah program yang sudah dikerjakan antara lain adalah kegiatan Pertamina Energi Negeri, "Up Close and Personal" dengan sejumlah tokoh di dalam dan luar Pertamina, kelas Monas untuk mengajarkan sejumlah "softskill", Bazaar Energi Negeri, kompetisi pembuatan film pendek dan tulisan dan berbagai kegiatan lain yang diikuti oleh anggota aktif sebanyak 75 orang, rata-rata berusia muda.

Lantas apa manfaat CCA?

"Berkat kegiatan ini saya jadi menambah teman, jadi koordinasi lebih mudah karena karyawan Pertamina kan jumlahnya ribuan orang, contohnya di tempat saya yaitu anak perusahaan pertamina saja jumlah pekerjanya ada 3.000 orang. Kalau sudah bertemu di sini lalu bertemu lagi di acara formal kita jadi lebih akrab, dan di sisi lain softskill bertambah," kata Reporting and Data Analyst Pertamina EP Ahmad Huzair, salah satu peserta kelas.

Huzair yang mengaku awalnya adalah pribadi tertutup dan tidak percaya diri berbicara di depan umum malah menjadi koordinator kegiatan Pertamina Energi Negeri 2 pada Maret 2017. Kegiatan itu melibatkan 562 pekerja dari kantor pusat Pertamina Jakarta, Unit Operasi dan anak perusahaan dari berbagai tingkat jabatan untuk mengajar anak-anak Sekolah Dasar di 9 lokasi yang tersebar di Palembang, Jakarta, Indramayu , Surabaya, Semarang, Balikpapan, Makassar, Jayapura dan Sorong.

Ia juga mengaku bahwa meski nilai-nilai 6 C itu tidak disampaikan secara langsung dalam kegiatan CCA, namun semangat dari 6 C itu ia rasakan, ditambah kegiatan tidak malah lebih luwes dan fleksibel untuk mencapai sasaran kerja.

Hal yang sama dirasakan juga oleh staf di bagian Human Resources Pertamina Aulia Kurnia Rahman yang sebelum ditempatkan di kantor pusat sempat merasakan atmosfer CCA Plaju.

"Sebenarnya kalau di daerah isinya bukan hanya yang muda-muda tapi juga yang senior karena kegiatan ini banyak manfaatnya. Di sini kita juga menyuarakan tentang 6C termasuk clean, gratifikasinya disisipkan di situ. Pelaporan gratifikasi di Pertamina sudah bagus dan dianggap terbaik juga karena pekerja diwajibkan untuk melaporkan bulan lalu apakah ada pemberian dan masuk ke KPI (key performance index), jadi itu bisa menjadi tolak ukur sendiri," ungkap Aulia yang menjadi karyawan Pertamina sejak 2013 itu.

Sebagai masukan Huzair dan Aulia menilai harus ada perekrutan yang lebih besar untuk anggota CCA agar manfaat CCA dapat dirasakan lebih banyak pegawai Pertamina.

"Harapan saya KPK datang ke Pertamina untuk memberikan pengenalan program antikorupsi seperti PROFIT (Profesional Berintegritas) bekerja sama dengan CCA jadi kegiatannya lebih informal dan menyentuh seluruh lapisan pekerja, bukan hanya di ballroom yang dihadiri petinggi-petinggi saja, semoga CCA bisa melampaui sekat-sekat itu," tambah Huzair.

Manajemen Pertamina menurut Dwi saat ini berupaya mendorong agar anak-anak muda di Pertamina berani bersuara dan tidak ikut arus orang-orang yang masih menginginkan budaya lama "ewuh pakeuh".

"Kalau dulu kan yang muda-muda berpikir dari pada gue sakit hati lebih baik gue ikutan, dan memang terbukti tidak semua anak muda baik, ada juga yang mengambil jalan pintas. Tapi kalau anak mudanya di sini diajak ke panti asuhan, dilatih untuk bersyukur akhirnya timbul suara-suara memang kurang apa lagi sih? Jadi tidak ada keinginan untuk mencari-cari pendapatan lain," jelas Dwi.

Mengubah mental menurut Dwi harus dilakukan secara terus-menerus tanpa lelah untuk terus-menerus mengingatkan pimpinan maupun pegawai Pertamina agar dapat menjalankan seluruh aturan.

"Masalahnya bagaimana implementasi sistem itu dan perbaikan mental itu, kuncinya cuma itu. Manusia itu gampang lupa, jadi memang paling berat itu kegiatan campaign kita, banyak orang yang reluctant, ngapain sih lo campaign begitu?, memang hasilnya tidak kelihatan drastis tapi alhamdulilah sudah ada ada yang mengakui kinerja Pertamina meski masih ada oknum-oknum karena tidak semua orang baik kan?" ungkap Dwi.

Pertamina memang telah memulai upaya bersih-bersih. Pembersihan itu pun tidak didukung sepenuhnya oleh pihak-pihak yang terancam kehilangan kenyamanannya, tapi keberanian untuk keluar dari zona nyaman menuju era baru Pertamina tetap dinanti masyarakat sebagai pemilih saham utama perusahaan negara tersebut.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017