Pencapaian ini mungkin belum apa-apa. Toh selama 37 tahun masa karirnya sebagai pelatih, dirinya sudah pernah mengantarkan beberapa pebulutangkis muda ke pelatnas, salah satunya Indarti Issoliana di era 1990-an.
Bagi Didit, melatih ibarat pengabdian pada cabang olahraga yang dia sukai sejak masih di sekolah dasar itu. Terlebih, inilah caranya untuk membalas rasa sakit karena tak mampu menjadi pebulutangkis nasional.
"Saya ini orang enggak mampu. Dulu enggak bisa sampai ke pelatnas, ya makanya memilih melatih. Karena saya enggak bisa saya ingin anak didik saya bisa," ujar dia kepada ANTARA News di GOR Djarum, Jati, Kudus, Sabtu (9/9) sore.
"Lelah ya lelah, tetapi senang. Ini pengadian, hobi. Cita-cita dulu jadi pebulutangkis nasional, ke pelatnas. Saya bikin klub sendiri akhirnya walau sarana terbatas," sambung Didit.
Karena merasa tidak mampu dari sisi sarana, Didit pun berkeinginan besar mengantarkan anak-anak didiknya masuk ke klub-klub besar, melalui tahap audisi misalnya.
Saat ini sudah lebih dari enam anak asuhannya yang masuk PB Djarum melalui tahap audisi umum beasiswa, salah satunya Agatha Imanuela.
Bagi Didit, melatih ibarat menyelami karakter masing-masing orang. Cara melatih pun disesuaikan dengan karakter siswa didik.
"Melatih kan sembari menyelami karakter-karakter anak-anak. Dikerasin apa dilembutin," kata dia.
Walau hanya mendapat pemasukan sekitar Rp 1.800.000 per bulannya, namun Didit berkomitmen melatih hingga raganya tak sanggup lagi.
Semangat Pak Didit!
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017