Oleh Ndari RumiwidiyawatiYogyakarta (ANTARA News) - Jari-jari tua Dul (58) merapat, mengurut bagian per bagian tubuh gempal sapi betina pasiennya. Mulai dari tengkuk yang disebutnya sebagai pusat urat hingga kaki hewan ternak itu. Sapi itu tetap bergeming hingga akhir proses pemijatan yang ditandai dengan pengolesan ramuan khusus ke seluruh badan. Sapi yang dipijatnya sore itu adalah pasien kesekian kali bagi pria bernama lengkap Abdul Rohman Siswomiarto ini. Profesinya sebagai pemijat sapi yang diwariskan dari kakek dan ayahnya, sudah dilakoni sejak gerhana total tahun 1983, setelah sang ayah meninggal dunia. Menyembuhkan berbagai keluhan penyakit kuda, sapi dan kerbau seperti keseleo, tulang retak, kecapekan, tak mau makan hingga hewan gila, sudah menjadi keahliannya. "Sejak kelas dua Sekolah Rakyat (SR), saya sudah diajari ayah memijat. Yang utama memang menyembuhkan manusia tetapi hewan ternakpun butuh diselamatkan," kata dia. Sehari-hari lelaki yang dikaruniai lima anak dari dua istrinya ini membuka praktik di rumahnya yang kini baru setangah jadi, karena diguncang gempa bumi 27 Mei 2006 lalu. Di tempat praktiknya di Dusun Segoroyoso, Desa Segoroyoso, Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ia tak menyediakan tempat khusus untuk merawat hewan-hewan itu, pemijatan bisa berlangsung di halaman rumah atau di kandang sapi milik saudaranya yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Jika hewan-hewan itu tak memungkinkan dibawa ke Segoroyoso, ia mendatangi ke tempat tinggal mereka, layaknya dokter yang datang ke rumah pasiennya. Boyolali, Kulon Progo, Purworejo, Kebumen, Banyumas, hingga ke Jakarta pernah didatanginya. Di tempat-tempat jauh itu biasanya Pak Dul memijat kuda pacu yang harus selalu dalam kondisi fit saat bertanding. Ia mengaku tak menemui kesulitan untuk memulihkan kondisi hewan asal penyakit itu belum terlalu lama menjangkit. "Kalau `kadaluwarsa`, sudah sekitar tujuh hari sakit, paling tidak membutuhkan tiga kali pemijatan agar otot-otot yang keras dan kaku bisa lemas kembali," katanya. Satu-satunya penyakit yang membuatnya menyerah adalah patah tulang. "Hewan tak memiliki darah putih, sehingga tidak bisa berproses untuk penyembuhan, berbeda dengan manusia," kata dia. Sebelum beraksi, Pak Dul selalu melakukan "wiridan" atau membaca ayat-ayat suci Al Quran seperti yang diajarkan ayahnya dulu. Deteksi penyakit dilakukannya dengan cara memusatkan perhatian penuh ke tubuh pasiennya. Terlebih jika penyakit yang diderita ternyata bukan sekedar ragawi seperti gila atau terkena guna-guna. Benda-benda pusaka peninggalan kakek, antara lain gading gajah dan batu merah delima selalu dibawanya tetapi ia menampik kalau benda itulah yang menyembuhkan penyakit pasiennya selama ini. "Benda ini hanya menjadi penghantar doa kepada Allah. Dia yang memberi kesembuhan," katanya. Ramuan khusus dari jahe, cabe rawit merah dan alkohol melengkapi sesi perawatan ternak ini agar reaksi otot dapat bekerja lebih cepat. Melakoni profesi unik, memberi cerita tersendiri bagi pak Dul yang sehari bisa memijat 10 ekor hewan ternak ini. Kisah membanggakan terukir saat ia berhasil menyembuhkan sapi yang siap dijagal karena memiliki penyakit aneh. "Sebelum menyembelih, pemiliknya yang sudah hampir putus asa pada kesehatan ternaknya itu ingat saya. Setelah saya pijat, sapi itu bisa berlari kencang," katanya. Iapun masih sangat ingat dengan kisah sebaliknya. "Ada sapi yang sudah berhari-hari sakit, dilakukan berbagai upaya tetap tidak sembuh. Saya angkat tangan karena penyakitnya sudah terlalu parah," katanya. Ia masih di rumah pemilik sapi itu ketika hewan ternak yang beberapa saat lalu tak sampai dipijatnya itu kemudian menemui ajal. Kendati demikian Pak Dul tak lantas menghentikan pekerjaannya ini. Karena berkat memijat sapi dengan tanpa menentukan besaran tarif itu, ia berhasil mengantarkan anak-anaknya menuju pendidikan tinggi dan meraih apa yang dicita-citakan. Putra kedua dari mendiang istri pertamanya, kini menjadi arsitek. Ia berharap, ilmu yang turun-temurun ini tidak berhenti hanya sampai pada generasinya. Dimas Prasetyo, anak bungsunya yang kini masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, menjadi tumpuan. "Saya lihat dari kebiasaan Dimas yang jarang makan nasi dan hidup prihatin seperti saya waktu kecil. Mudah-mudahan dia bisa meneruskan," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007