Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menonaktifkan sementara Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu Kaswanto pasca operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim dan panitera pengganti di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu.
"MA telah menonaktifkan sementara Ketua PN Bengkulu selaku atasan langsung dari hakim tersebut dan juga panitera PN Bengkulu selaku atasan langsung dari panitera pengganti tersebut. Keduanya sementara dipekerjakan di Pengadilan Tinggi Bengkulu. Ini SK-nya sudah ada," kata Ketua Muda Pengawasan MA Sunarto saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/9) malam.
Terkait penonaktifan tersebut, ia menyatakan bahwa atasan juga harus ikut bertanggung jawab terkait kejadian yang melibatkan anak buahnya.
KPK telah menetapkan tiga tersangka terkait dugaan suap terhadap hakim di Pengadilan Tipikor Bengkulu terkait putusan perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi kegiatan rutin Tahun Anggaran 2013 di Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan, dan Aset (DPPKA) Kota Bengkulu.
Diduga pemberian uang terkait dengan penanganan perkara Nomor 16/Pid.Sus-TPK/2017/PN Bgl dengan terdakwa Wilson agar dijatuhi hukuman yang ringan oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bengkulu.
Sebagai pihak yang diduga penerima, yaitu Dewi Suryana (DSU) selaku Hakim Anggota di Pengadilan Tipikor Bengkulu dan Hendra Kurniawan (HKU) sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu.
Sedangkan diduga pihak pemberi Syuhadatul Islamy (SI), seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau keluarga terdakwa Wilson.
Selain itu, kata Sunarto, MA juga telah memberhentikan sementara hakim dan panitera pengganti di Pengadilan Tipikor Bengkulu yang terkena OTT tersebut.
"Ini juga sudah ada SK pemberhentian sementara aparatur yang terkena OTT itu karena kami menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," kata Sunarto.
Lebih lanjut, Sunarto menyatakan bahwa Badan Pengawasan MA sudah mengirimkan tim ke Bengkulu untuk memeriksa Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu dan Panitera Pengadilan Negeri Bengkulu tersebut.
"Malam ini sampai besok kami akan memeriksa Ketua dan Panitera apakah yang bersangkutan sudah memberikan pembinaan, apakah sudah lakukan pengawasan yang memadai, yang layak terhadap anak buahnya. Bilamana tidak terbukti kami akan rehabilitasi, kami pulihkan lagi, dan kami kembalikan ke posisi semula," ujarnya.
Namun, kata dia, jika Ketua Pengadilan Negeri dan Panitera yang dinonaktifkan tersebut tidak memberikan pembinaan yang memadai, layak, dan tidak melakukan pengawasan terhadap anak buahnya, maka penonaktifan dari jabatan struktural itu akan diteruskan secara permanen atau tetap.
"Ini ada dasarnya, yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang pengawasan pembinaan atasan langsung di lingkungan MA dan Badan Peradilan. Jadi, kami tidak main-main, atasan langsung harus bertanggung jawab juga, jadi pimpinan pengadilan sekarang bebannya jauh lebih berat," ucap Sunarto.
Sebagai pihak yang diduga penerima, DSU dan HKU disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan sebagai pihak diduga pemberi, SI disangkakan melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu menyebut orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017