Kini dia harus berjualan kartu SIM telepon genggam di jalanan.
Safi adalah satu di antara puluhan ribu tentara Afghanistan yang harus menderita cacat permanen selama 16 tahun terakhir, sejak Amerika Serikat menginvasi negara tersebut untuk menjatuhkan rezim Taliban tahun 2001.
Di pinggir jalan dan pasar-pasar berbagai wilayah Afghanistan, kehadiran mereka menjadi pengingat tragis biaya kemanusiaan dari perang.
"Hari itu adalah hari terburuk dalam hidup saya," kata Safi, yang jabatan terakhirnya adalah letnan.
"Kami saat itu dikepung oleh puluhan gerilyawan Taliban. Saya harus menjalani kondisi yang buruk selama dua hari sebelum dirawat di rumah sakit," kata dia.
Dengan kondisi tangan dan kaki yang rusak, kaki Safi harus diamputasi di medan perang. Setelah itu, dia juga harus menjalani operasi yang gagal untuk memperbaiki kaki kirinya yang masih ada. Dia berhadap operasi kesembilan akan berakhir sukses.
"Saya mengabdi pada negara ini dan tidak menyesal telah menderita cacat. Namun saat saya mengingat bahwa luka saya tidak dihargai oleh pemerintah, maka saya menyesalinya," kata Safi.
Safi mengaku memperoleh santunan sekali bayar sebesar 2.690 dolar AS atau sekitar Rp40 juta, dan uang pensiun sebesar 153 dolar AS setiap bulannya.
Dengan kondisi tidak bisa berjalan, dia duduk di sebuah tenda kecil di tengah pasar kota Jalalabad, untuk berjualan kartu SIM yang bisa menambah setengah dari uang pensiunnya.
"Saya mendirikan usaha kecil ini untuk memberi makan keluarga. Namun para pegawai kota itu mengejek saja di pasar, sementara keluarga menyalahkan saya karena dianggap menghancurkan hidup mereka," kata dia.
Pemerintah sendiri mengaku telah berupaya maksimal di tengah perang berkepanjangan yang telah menewaskan dan melukai ribuan tentara setiap tahunnya.
Para tentara yang terluka biasanya mendapatkan uang pensiun. Sekitar 13.000 mantan tentara dan warga sipil yang menderita cacat sudah menerima uang pensiun rutin, kata juru bicara pemerintah Fatah Ahmadzai.
Namun para pejabat itu tahu bahwa jumlah uang pensiun masih terlalu kecil untuk memberi penghidupan yang layak bagi para keluarga korban.
"Bantuan ini tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan yang harus mereka jalani," kata juru bicara kementerian pertahanan, Dawlat Waziri.
"Kementerian kami bekerja keras untuk meningkatkan uang pensiun para tentara. Namun Afghanistan tidak mempunyai uang untuk menyelesaikan persoalan ini sendirian," kata dia.
Amerika Serikat sendiri saat ini tengah menyiapkan operasi miiter yang lebih intensif sehingga jumlah korban akan meningkat. Situasi ini membuat resiko bagi tentara lokal dan keluarganya semakin besar.
"Keluarga saya sudah meminta saya untuk menginggalkan karir militer setelah saya menderita luka pertama. Namun saya menolaknya," kata Hayatullah Sahar, yang harus tiga terluka sebelum keluar dari dinas ketentaraan untuk menjadi sopir taksi.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017