Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum PT Portanigra, Yan Juanda Saputra dan kawan-kawan, menilai bahwa Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, telah melakukan kesalahan fundamental dalam pengajuan gugatan perlawanan hukum dalam perkara sengketa lahan Meruya Selatan, Jakarta Barat. "Perlawanan pihak ketiga oleh seorang Gubernur DKI Jakarta sebagai pelawan dalam perkara tersebut merupakan kesalahan prisnsipil dan fundamental dalam beracara perdata di lingkungan peradilan umum," katanya dalam sidang pembacaan nota keberatan (eksepsi) perkara tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Senin. Kesalahan semacam itu, katanya, mengakibatkan gugatan yang dilayangkan orang nomor satu di Jakarta itu cacat hukum formal (hukum acara). Menurut dia, Gubernur DKI Jakarta sebagai subyek hukum publik sama sekali tidak identik dan tidak memiliki status hukum yang sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai badan hukum publik. Dengan berstatus sebagai pelawan, maka Gubernur DKI Jakarta seakan-akan menjadi pemilik sebagian tanah di Meruya Selatan. "Gubernur tidak dapat menjadi pemilik atas aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," katanya menambahkan. Untuk itu, kuasa hukum PT Portanigra memohon, agar majelis hakim menyatakan gugatan perlawanan hukum yang diajukan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tidak dapat diterima (niet on vankelijk verklaard). Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur Sutiyoso mengajukan perlawanan hukum atas rencana eksekusi lahan di Meruya Selatan, karena Pemprov DKI Jakarta menyatakan, memiliki aset di lahan yang diklaim milik PT Portanigra itu. Selain aset perkaplingan Pemprov DKI, di lahan itu juga terdapat perumahan karyawan Walikota Jakarta Barat, Kompleks perumahan DPR 3, perumahan Mawar, Meruya Residence, kompleks perumahan DPA, perkaplingan BRI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon Jeruk, dan perumahan Unilever. Keputusan eksekusi lahan Meruya Selatan ditetapkan oleh PN Jakarta Barat pada 9 April 2007. Putusan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Barat, Haryanto, SH itu berdasarkan putusan PN Jakarta Barat tertanggal 24 April 1997 No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 29 Oktober 1997 No. 598/PDT/1997/PT.DKI dan jo Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Juni 2001 No: 2863 K/Pdt/1099. Sampai saat ini, kawasan yang menjadi sengketa itu dihuni sekitar 5.563 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 21.760 jiwa. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007