Jakarta (ANTARA News) - Ketua Setara Institute Hendardi mengingatkan perlunya mewaspadai upaya adu domba antarbangsa maupun di dalam negeri terkait dengan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar.

Menurut dia, krisis Rohingya bisa dimanfaatkan kelompok radikal untuk lebih memperkeruh suasana, apalagi krisis yang menimpa etnis minoritas itu dibumbui isu agama.

"Populisme agama akan mendapat tempat kokoh di tengah krisis kemanusiaan semacam ini, apalagi aktor yang terlibat dalam krisis berbeda secara diameteral dalam soal agama dan etnis," kata Hendardi di Jakarta, Senin.

Menurut dia, diskriminasi ganda dan dugaan genosida atas dasar agama dan etnis yang dialami oleh Rohingya sangat mungkin menghimpun solidaritas dan dukungan publik.

Hendardi mendukung langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan mengirim Menlu Retno Marsudi ke Myanmar untuk melakukan lobi perdamaian. Namun, selain itu, pemerintah juga harus mengantisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang mengkapitalisasi isu ini untuk kepentingan politik dalam negeri.

"Jika pemerintah tidak mengambil langkah politik, potensi ketegangan sosial di dalam negeri juga cukup tinggi," imbuh Hendardi.

Ia mengatakan Rohingya adalah tragedi kemanusiaan yang secara etis dan politik menuntut dunia internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan.

"Negara-negara ASEAN tidak bisa berlindung di balik prinsip menghormati kedaulatan Myanmar atas tragedi ini," kata Hendardi.

Menurut dia, pembiaran dunia internasional atas Rohingya diduga kuat memiliki motivasi politik ekonomi kawasan sehingga Aun San Su Kyi terus memeroleh proteksi politik karena belum ada rezim pengganti yang potensial dan akomodatif menjaga kepentingan sejumlah negara-negara yang memiliki kepentingan kuat.

Meski demikian, kata dia, krisis Rohingya lebih merupakan krisis yang lebih besar didorong oleh dinamika politik dalam negeri Myanmar. Dengan demikian, potensi gangguan keamanan terhadap kawasan tidak akan menyebar sebagaimana penyebaran kelompok ideologis ISIS.

Namun, lanjutnya, antisipasi tetap harus dilakukan karena biasanya kelompok seperti ISIS menjadikan wilayah konflik sebagai sasaran mereka untuk mengumbar radikalismenya.

"Yang pasti akan makin banyak pencari suaka ke Indonesia dan sejumlah kawasan lain. Para pencari suaka adalah problem human security dan kewajiban negara-negara untuk mencari resolusi terbaik bagi Rohingya," kata Hendardi.

Hendardi mengindikasikan keterlibatan tentara Myanmar dalam krisis Rohingya, dan itu menjadi bukti bahwa kekerasan itu dipelopori oleh negara. Karena itu, selain intervensi kemanusiaan, advokasi Myanmar juga sangat dimungkinkan karena genosida merupakan salah satu kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional.

"Atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan Rohingya," tandas Hendardi.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017