Hal itu yang pula yang menjadi salah satu indikator bahwa pengelolaan utang pemerintah tetap secara hati-hati (pruden) dan digunakan secara produktif, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin.
"Kami meminjam kepada masyarakat Indonesia sendiri sebesar (porsi) 62 persen, yang uangnya dikelola bank, melalui reksa dana, surat utang, dan lainnya," ujar dia.
Sedangkan sisanya yang sebesar 38 persen berasal dari investasi non-residen atau asing.
Dari 62 persen tersebut, investor SBN paling besar adalah perbankan dengan porsi 22 persen, di mana dana dari perbankan juga berasal dari dana masyarakat.
Kemudian, investasi asuransi sebesar 13 persen, investasi institusi negara sebesar delapan persen, dan sisanya reksa dana, dana pensiun dan individu.
Dia mengatakan porsi sumber utang dari dalam negeri itu juga akan membantu pendalaman pasar keuangan, karena dana masyarakat banyak digunakan untuk pembelian instrumen di pasar.
"Ini juga membuktikan jika masyarakat Indonesia memiliki daya beli dan investasi yang tinggi, untuk membeli surat utang negara. Oleh sebab itu, tidak perlu ada kekhawatiran," ujarnya.
Adapun posisi hingga 2017, total pinjaman pemerintah sebesar Rp3.780 triliun dengan komposisi mayoritas dari surat berharga negara (SBN) rupiah 58,4 persen, SBN valas sebesar 22,2 persen, pinjaman luar negeri sebesar 19,3 persen, dan pinjaman dalam negeri 0,1 persen.
Hati-Hati dan Produktif
Sri menjamin penarikan utang akan dikelola secara hati-hati dan penggunaannya akan produktif.
"Caranya, kami jaga rasio utang di bawah 30 persen dari PDB. Meskipun Undang-Undang memperbolehkan hingga 60 persen PDB, tapi kami jaga dengan angka yang jauh di bawah itu," tutur dia.
Selain itu, penarikan utang juga dilakukan dengan memperhatikan risiko utang dari aspek selisih kurs, jangka waktu pengambilan utang, dan biaya penarikan utang itu sendiri.
Sedangkan penggunaannya, kata Sri, utang ditarik untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program sosial.
Pemerintah memang menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk kegiatan produktif, salah satunya mengatasi ketertinggalan melalui pembangunan infrastruktur.
Dalam Rancangan APBN 2018, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp1.878,4 triliun dan belanja negara Rp2.204,4 triliun. Itu artinya, ada defisit Rp325,9 triliun atau 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
(T.I029/C004)
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017