Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar pemerintah Myanmar menghentikan aksi kekerasan terhadap warganya.
"Sore tadi Menlu telah berangkat ke Myanmar untuk meminta pemerintah Myanmar agar menghentikan dan mencegah kekerasan agar memberikan perlindungan kepada semua warga termasuk Muslim di Myanmar dan agar memberikan akses bantuan kemanusiaan," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Minggu.
Presiden menyampaikan pernyataan resmi didampingi oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Sekretariat Negara Pratikno dan Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir.
Presiden juga menyampaikan penyesalannya terhadap aksi kekerasan yang terjadi di Myanmar sejak dua pekan lalu itu.
"Saya dan seluruh rakyat Indonesia, kita menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi di Rakhine State Myanmar, perlu sebuah aksi nyata tidak hanya kecaman-kecaman," tambah Presiden.
Menlu Retno Marsudi nantinya juga akan bertemu dengan sejumlah tokoh internasional untuk mencari solusi Myanmar.
"Saya telah menugaskan Menlu RI untuk menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak termasuk dengan Sekjen PBB bapak Antonio Guterres dan Penasihat Khusus untuk Rakhine State bapak Kofi Annan," ungkap Presiden.
Menlu Retno Marsudi dijadwalkan bertemu dengan Menlu merangkap Konselor Negara Republik Persatuan Myanmar Aung San Suu Kyi yang juga pemimpin Partai Liga Demokrasi Nasional, partai mayoritas parlemen Myanmar pada Senin (4/9) di Myanmar.
Keduanya sudah pernah bertemu di Myanmar pada 6 Desember 2016 dan pada 19 Desember 2016.
Ketiga pertemuan itu membahas agenda solusi atas tragedi kemanusiaan yang menimpa masyarakat etnis Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine (atau biasa pula disebut Arakan).
Pada Jumat (25/8), sekelompok gerilyawan Rohingya yang bersenjatakan pisau dan bom buatan, menurut pemerintah setempat menyerang lebih dari 30 pos polisi di Rakhine utara hingga menewaskan 12 orang. Puluhan militan dilaporkan tewas dalam bentrokan tersebut dan bentrokan lain sesudahnya.
Bentrokan itu membuat ribuan warga sipil dari kedua komunitas tersebut terusir. Dilaporkan bahwa sejumlah warga sipil juga meninggal dunia.
Organisasi "Human Rights Watch" mengatakan berdasarkan data satelit menunjukkan kebakaran di setidaknya 10 wilayah. Pemerintah mengatakan bahwa militan membakar desa-desa kaum minoritas, sementara para gerilyawan mengaitkan kebakaran tersebut dengan pasukan keamanan dan umat Buddha setempat.
Jumlah warga Rohingya yang berupaya menyelamatkan diri ke Bangladesh terus meningkat. Organisasi Internasional untuk Migrasi, IOM mengatakan hingga Rabu (30/8), sekitar 18.500 orang Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, melarikan diri ke Bangladesh. Namun pasukan Bangladesh disebut menghalangi para penduduk Rohingya itu menyebrang ke Bangladesh
Aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar meledak pada 2012 yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar yang dikuasai junta militer lalu membuat sensus penduduk mulai 30 Maret 2014 dan berlangsung selama 12 hari namun ternyata tidak mendata masyarakat etnis muslim Rohingya. Dalam sensus itu, dicantumkan kode nomor etnis yang resmi diakui pemerintah tanpa etnis Rohingya.
Penduduk Myanmar dalam sensus menyebutkan bahwa masyarakat beragama Islam berjumlah 2,3 persen dari total penduduk Myanmar dan tersebar di seluruh negara bagian. Namun mereka bukan berasal dari Muslim Rohingya karena pemerintah Myanmar tidak mendata etnis Muslim Rohingya.
Pemerintah Myanmar kerap berkilah bahwa penduduk Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh dan mengingkari hak kewarganegaraan mereka, walaupun banyak etnis Rohingya yang mengatakan bahwa mereka telah menetap di Myanmar selama beberapa generasi. Mereka pun tinggal di salah satu negara bagian termiskin di Myanmar, dan gerakan dan akses mereka terhadap pekerjaan sangat dibatasi.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017