Coxs Bazar (ANTARA News) - Hampir 9.000 warga Rohingya melarikan diri dari kekerasan terburuk di Myanmar dalam lima tahun belakangan, sementara ribuan lagi terjebak di perbatasan Bangladesh atau bersiap mencapai tempat itu dalam beberapa hari mendatang.
Serangkaian serangan tergalang oleh gerilyawan Rohingya terhadap pasukan keamanan di negara bagian Rakhine pada Jumat dan bentrokan susulannya memicu ribuan Muslim Rohingya melarikan diri, sementara pemerintah mengungsikan ribuan pengikut Buddha Rakhine, lapor Reuters.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengutuk serangan tersebut, menekan Myanmar agar melindungi kehidupan warga tanpa pembedaan dan mengimbau Bangladesh mengizinkan yang melarikan diri dari serangan balasan militer itu masuk ke wilayahnya.
"Keadaannya sangat mengerikan. Rumah dibakar, semua warga lari dari rumah mereka, orangtua dan anak-anaknya terpisah, beberapa hilang, terdapat pula yang tewas," kata Abdullah (25), warga Rohingya dari desa Mee Chaung Zay, wilayah Buthidaung, melalui telepon, sambil berusaha menahan air matanya.
Dia mengatakan bahwa dirinya sedang bersiap untuk melarikan diri.
Sedikit-dikitnya 109 orang tewas dalam bentrokan dengan gerilyawan, menurut pemerintah, kebanyakan dari mereka adalah anggota gerlyawan, namun terdapat juga anggota pasukan keamanan dan warga sipil.
Penanganan terhadap sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya menjadi sebuah tantangan terbesar bagi Aung San Suu Kyi, yang telah mengutuk serangan tersebut dan memuji pasukan keamanan.
Peraih Nobel Perdamaian itu dituduh beberapa kritikus Barat karena tidak bersuara terhadap kejadian pembantaian Muslim Rohingya, yang merupakan kaum minoritas di Myanmar, oleh serangan brutal militer setelah terjadinya penyerangan Oktober.
Kewarganegaraan warga Rohingya ditolak Myanmar dan dianggap pengungsi gelap dari Bangladesh, meski telah mendiami daerah tempat tinggalnya selama berabad-abad, dengan masyarakat yang terpinggirkan dan terkadang mengalami kekerasan.
Bangladesh menganggap mereka sebagai pengungsi tidak resmi dari Myanmar dan mengatakan bahwa mereka tidak akan mengizinkan para pengungsi itu masuk ke wilayahnya.
Walau begitu, ribuan warga Rohingya, yang kebanyakan adalah wanita dan anak-anak, melarikan diri dari kekerasan tersebut. Mereka berusaha menuju sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh, serta mencoba melintasi perbatasan darat.
Serangan tersebut menandai peningkatan tajam kemelut di Rakhine sejak Oktober, ketika serangan serupa oleh gerilyawan menewaskan sembilan polisi, mendorong militer melakukan serangan balasan besar-besaran diikuti dugaan pembunuhan, perkosaan dan pembakaran.
PBB mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar kemungkinan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam serangan tersebut.
Abdullah, seorang warga Rohingya yang masih tinggal di Myanmar, mengatakan bahwa empat dari enam dusun di desanya dibakar habis oleh pasukan keamanan, mendorong semua warga untuk melarikan diri ke wilayah Bangladesh.
Dia dan ribuan penduduk desa yang ketakutan berkumpul di desa Kyee Hnoke Thee, di wilayah kaki pegunungan Mayu.
Abdullah bersama istri dan anak perempuannya yang berusia lima tahun, memasak nasi ketan, mengambil lembaran plastik dan botol air kosong, bersiap untuk melakukan perjalanan seharian, menempuh jarak sejauh 20 kilometer melewati daerah pegunungan hingga akhirnya sampai ke perbatasan.
"Saya menunggu semua kerabat saya untuk pergi bersama keluarga saya sesegera mungkin," kata Abdullah.
(Uu.Aulia/KR-AMQ/B002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017