"Jika beberapa tahun lalu kita menghadapi liberalisasi barang, Maka yang kita hadapi sekarang adalah liberalisasi jasa. Jangan sampai kita tidak punya visi bersama dalam menghadapi liberalisasi jasa ini," kata Putu di Jakarta, Rabu.
Menurut Putu, liberalisasi jasa adalah ketika seseorang dengan keahlian tertentu, diperbolehkan bekerja di negeri sesama anggota ASEAN, namun tidak boleh ada aturan yang menghalangi.
Putu menyampaikan, terdapat empat jenis liberalisasi jasa, di antaranya pertama cross border supply, yakni setiap warga negara ASEAN boleh menggunakan jasa untuk masing-masing kepentingan tanpa perlu bertemu.
"Saya orang Indonesia, Ismail orang Malaysia. Saya butuh jasa Ismail, Ismail berikan jasanya kepada saya, kemudian bayarnya transfer. Itu tidak bisa diregulasi lagi, Itu Indonesia sudah meratifikasi," ujar Putu.
Kedua, consumption abroad, yakni seseorang dengan keahlian tertentu pergi ke luar negara asalnya menuju negara ASEAN lain untuk memasang sebuah alat yang dibutuhkan pabrik, kemudian mendapat bayaran dan pulang ke negara asal.
Ketiga, commercial presence, misalnya, jasa seseorang banyak dipakai di Malaysia, kemudian orang tersebut ingin datang, bekerja sama dengan perusahaan lokal dan berinvestasi.
"Indonesia belum meratifikasi ini. Kita belum sepakat ini. Jika pada mode 3 ini tidak hati-hati, maka mode 4 kita akan kecolongan," tukas Putu.
Keempat, movement of natural person, di mana seseorang dengan keahlian tertentu boleh bebas betkelliaran di ASEAN tanpa aturan atau sertifikat.
Putu menyampaikan, keempat hal itu merupakan tantangan Indonesia untum menghadapi era liberalisasi jasa, agar tenaga kerja asal Indonesia tetap mendapat lapangan pekerjaan.
"Kita perlu mewaspadai ini di sektor telekomunikasi. Kenapa, karena ini sudah terjadi di industri otomotif. Orang masang velg ke ban saja itu asing. Kan sebetulnya tidak harus seperti itu," pungkas Putu.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017