Jakarta (ANTARA News) - Mantan anggota DPR RI yang kini Ketua Umum Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) Saifullah Ma’shum punya berbagai cerita mengenai dokumen kependudukan, salah satunya adalah nasihatnya kepada keponakan yang bisa "menghemat" Rp 6 juta.
Saat berbincang dengan Antara belum lama ini, Saifullah berkisah salah seorang keponakannya pernah mengurus paspor untuk pembantu rumah tangga (PRT).
PRT itu hanya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sang keponakan yang berdomisili di suatu kota di Jawa Barat, datang ke instansi untuk mengurus paspor.
Di sana, ada oknum yang menawarkan biaya Rp 6 juta agar paspor terbit hanya dengan KTP tanpa dokumen lain yang dipersyaratkan.
Sang keponakan lalu pulang dan bertanya pada Saifullah Ma'shum. Dia menyarankan agar minta surat pindah dari tempat terbitnya KTP si PRT.
Surat pindah pun ternyata sesuai prosedur, mudah didapat di tempat si PRT. Selanjutnya berbekal dokumen surat pindah tersebut satu persatu dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus paspor bisa diurus dan didapatkan, termasuk akta kelahiran.
Dalam tempo hanya tiga hari, setelah sang keponakan mengurus surat pindah seperti yang disarankan, akta kelahiran untuk PRT sudah terbit. Pengurusan yang sesuai prosedur ternyata mudah dan menghindarkan sang keponakan kena pungli Rp 6 juta.
"Saya berbahagia sekali menyaksikan pelayanan publik untuk urusan dokumen kependudukan di sejumlah kantor Dukcapil mulai berjalan baik. Masyarakat bisa memperoleh hak-haknya dengan mudah dan cepat,†ujar Saifullah.
Sebagai anggota DPR, Saifullah dulu ikut dalam proses membuat UU tentang Administrasi Kependudukan.
Ma’shum menilai Indonesia selama ini punya problem besar dalam penataan database kependudukan.
"Persoalannya ada pada dua level. Ya aparatur birokrasinya, ya masyarakatnya,†kata Saifullah yang pada 2007 menjabat Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu di parlemen.
Menurut Ma’shum, banyak aparat birokrasi bidang administrasi kependudukan terutama di daerah yang melayani dengan pola pikir dan paradigma lama, padahal regulasi dan kebijakan dari pemerintah pusat sudah mengalami perubahan mendasar yaitu prinsipnya, setiap penduduk warga negara Indonesia harus mendapat dokumen kependudukan yang menjadi hak.
"Problemnya juga ada pada penduduk. Masyarakat kurang disiplin mengurus dokumen kependudukan yang diperlukan," ujarnya.
IKI bekejasama dengan sejumlah kepala daerah kini gencar melakukan kegiatan advokasi dan sosialisasi tentang pentingnya akta kelahiran. Melalui relawannya di daerah setiap minggu IKI mengadakan pelayanan keliling ke desa-desa, terutama di wilayah Banten dan Jabar.
Peringatan HUT ke-11 IKI padaAgustus diselenggarakan dengan membantu warga Cina Benteng di Kota Tangerang untuk mendapatkan akta perkawinan dan itsbat nikah secara massal bagi warga muslim di Kabupaten Tangerang.
"Banyak sekali warga yang hanya kawin secara agama atau adat. Masih banyak anak usia 0-18 tahun tidak bisa mengantungi akta kelahiran yang mencantumkan status anak dari seorag ayah dan ibu, gara-gara orangtuanya kawin siri," kata Saifullah.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017