Jakarta (ANTARA News) - "Menatap Merah Putih adalah bergolaknya darah demi membela kebenaran dan azasi manusia menumpas segala penjajahan di atas bumi pertiwi. Menatap Merah Putih adalah kebebasan yang musti dijaga dan dibela kibarannya di angkasa raya. Berkibarlah terus Merah Putihku dalam kemenangan dan kedamaian."
Tiga bait terakhir puisi berjudul "Hari Kemerdekaan" karya Sapardi Djoko Damono, sastrawan angkatan 66 ini, sepertinya bisa menggambarkan semangat nasionalisme warga Pulau Liran, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya, Propinsi Maluku, dalam mengisi kemerdekaan sekaligus mempertahankan harkat dan martabat sebagai anak bangsa.
Pagi itu, Senin, 7 Agustus 2017 sekitar pukul 04:00 WIT, saat hari masih gelap, suasana di Dermaga Liran terlihat ramai. Sederet anak berseragam sekolah lengkap dengan bendera kecil merah putih di tangan, berbaris rapi untuk menyambut kedatangan Menteri BUMN Rini Soemarno yang melakukan kunjungan kerja ke daerah itu.
Dibekap udara dingin dan hembusan angin yang cukup kencang, para siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama beserta sejumlah tokoh adat bersiap-siap melakukan prosesi penyambutan.
Tepat pukul 05:10 WITA tamu yang dinanti pun tiba. Menggunakan KM Priscilla Ekpress, Menteri BUMN Rini Soemarno yang didampingi Bupati Maluku Barat Daya Barnabas Orno, Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Doni Monardo, CEO Telkom Group Alex J. Sinaga dan sejumlah direksi BUMN langsung disambut tarian dan musik tradisional Liran.
Setelah mengikuti ritual penyambutan, rombongan menggunakan dua unit truk dan sebuah mobil pick up melanjutkan perjalanan berjarak 8 kilometer menuju Tugu Tapal Batas di Desa Manoha.
Di lokasi paling ujung Pulau Liran ini, rombongan langsung berjalan menaiki sebuah bukit setinggi 30 meter untuk mengikuti upacara pengibaran Bendera Merah Putih.
Saat fajar menyingsing dan semburat pagi berwarna jingga mulai muncul di langit Liran, upacara pengibaran Sang Merah Putih dimulai. Tiga pemuda desa --mahasiswa pada perguruan tinggi di Ambon dan Kupang yang sedang libur kuliah--, dipercaya menjadi pengerek bendera.
Benderaaa siaaap!!! Lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Di bawah tiang bendera yang menghadap ke lautan luas, peserta upacara dengan suara lantang, kepala tegak dan penuh hikmat menyanyikan lagu kebangsaan.
"Semangat mempertahankan NKRI seharusnya terus digelorakan, terutama di wilayah-wilayah perbatasan, sekaligus implementasi amanat Nawa Cita pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan," kata Rini.
Kehadiran Rini di Pulau Liran merupakan bagian dari pelaksanaan acara Pemancangan 1.000 Bendera Merah Putih oleh 14 BUMN dalam rangka perayaan HUT ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Usai upacara, Rini kemudian berjalan kaki sekitar 5 menit menuju SMK Kelautan dan Perikanan Ustutun. Sambil menyusuri rumah penduduk di pinggir pantai yang umumnya masih berdinding kayu, bambu dan beratap rumbia, ia sekali-kali berbincang dan berfoto bersama dengan warga.
Di sekolah ini CEO Telkom Group Alex J. Sinaga memberikan bantuan pembangunan "Broadband Learning Center", berupa perangkat akses internet dua paket Indihome Sky, sebanyak 15 unit komputer dan satu unit proyektor slide.
Kunjungan kerja Rini yang dengan program "BUMN Hadir untuk Negeri" ini juga meresmikan pengoperasian satu unit Base Transceiver Station (BTS) yang dibangun Telkomsel, anak usaha Telkom.
Dihadiri ratusan warga, BTS Merah Putih dengan cakupan layanan hingga radius 5 kilometer ini resmi melayani seluruh masyarakat Liran.
Boleh disebut bahwa di titik inilah puncak dari kehadiran negara di Pulau Liran. Karena hanya dengan terkoneksinya sinyal seluler Telkomsel diharapkan menjadi tonggak bangkitnya perekonomian di wilayah itu.
Surga yang Terlupakan
Pulau Liran adalah pulau terdepan Indonesia di Kabupaten Wetar Barat yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dengan jumlah penduduk 1.118 jiwa atau sekitar 235 KK.
Dengan luas sekitar 34,3 kilometer per segi, Liran memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Saat di siang hari, air laut berwarna biru terlihat eksotis membasahi bibir pantai yang berpasir putih, bahkan merasuk hingga ke sela-sela pohon bakau di sepanjang garis pantai.
Terumbu karang alami, rumput laut dan ekosistem hayati yang terjaga serta ikan berlimpah semakin membuat Liran menjadi pulau yang indah menyimpan sejuta pesona.
Tidak heran jika Bupati Maluku Barat Daya Barnabas Orno, mempromosikan wilayah itu kepada calon investor dan para tamu yang datang menyebutkan bahwa wilayah ini ibarat "Surga Yang Terlupakan".
Namun pemanfaatan semua potensi alam tersebut sangat tergantung pada infrastruktur, mulai dari pasokan listrik, jalan desa, sarana pendidikan, hingga yang tidak kalah penting adalah tersedianya jaringan telekomunikasi seluler.
Di pulau yang warganya masuk dalam suku bangsa Ambon ini, sebagian besar mata pencahariannya nelayan, karena pertanian atau perkebunan tidak tumbuh subur di daratan yang cenderung tandus dan berbatu ini.
Ikan hasil tangkapan nelayan biasanya dijual kepada pengepul yang merupakan warga Timor Leste. Kalaupun ada nelayan yang ingin menjual ikan langsung ke Timor Leste, harus berlayar menggunakan perahu selama empat-lima jam itupun jika ombak bersahabat.
Akses menuju Liran tergolong sulit, karena harus melewati ganasnya ombak laut Banda dan selat Wetar. Jika ditempuh dari Alor, NTT butuh waktu sekitar 8 jam perjalanan naik kapal cepat, sedangkan dari Tiakur, ibukota Kabupaten Maluku Barat Daya, berjarak sekitar 223 kilometer laut sementara jika ditempuh dari Ambon ibukota Propinsi Maluku, harus berlayar 3-4 hari.
Kehadiran Kapal Perintis Sabuk Nusantara yang menghubungkan pulau-pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya juga terbatas, hanya singgah satu kali dua minggu.
Hal ini lah yang membuat Pulau Liran seakan terisolir, sehingga memicu harga kebutuhan pokok melangit. Sebut saja, harga bensin jenis premium mencapai Rp30.000 per liter, dan jenis solar untuk kebutuhan menangkap ikan para nelayan sekitar Rp20.000 per liter. Harga rokok putih Rp30.000 per bungkus, mie instan Rp12.000 per bungkus.
Kebutuhan bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, tepung terigu dan lainnya didatangkan dari Timor Leste dan Kupang, NTT. Ironis. barang-barang yang didatangkan dari Timor Leste itu umumnya impor dari Indonesia, namun dijual kembali ke penduduk Pulau Liran.
Kondisi yang paling ironis adalah soal kesehatan. Banyak warga yang memilih berobat ke Dili karena gratis. Namun tidak jarang ada pasien yang tidak tertolong, karena meninggal dalam perjalanan saat dibawa dari Liran ke Dili.
Listrik yang hanya hidup di malam hari sejak pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi, membuat daerah ini seakan hanya hidup di malam hari.
Bangkitkan Harga Diri
Telekomunikasi saat ini bisa disebut sebagai kebutuhkan dasar, karena fungsinya yang tidak lagi sekedar pelengkap, tapi telah menjadi faktor utama dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.
Tekomsel sebagai entitas bisnis BUMN Telekomunikasi, gencar membuka akses telekomunikasi di wilayah terisolir demi menjaga keutuhan NKRI, seperti yang dilakukan di Pulau Liran.
CEO Telkom Group Alex J. Sinaga mengatakan tersedianya jaringan Telkomsel akan membuka komunikasi antar masyarakat dari satu pulau ke pulau lainnya sehingga dengan sendirinya dapat memacu peningkatan perekonomian penduduk satu wilayah.
"Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Di setiap jengkal tanah berkibar Merah Putih di situ pula siap menancapkan BTS Merah Putih," kata Alex.
Di saat operator seluler swasta lainnya enggan masuk hingga ke daerah terpencil, pedalaman, perbatasan karena memperhitungkan untung rugi, namun Telkomsel tetap hadir alias mengedepankan aspek manfaat bagi masyarakat ketimbang sisi komersial.
Alex menukil hasil riset Bank Dunia pada 2015, bahwa pertumbuhan 10 persen akses internet di suatu negara, dapat meningkatkan perekonomian sebanyak 1,35 persen.
Pengoperasian BTS Telkomsel di Pulau Liran pada 7 Agustus 2017 bisa menjadi sejarah baru bagi penduduk yang menghuni pulau tersebut.
Menteri BUMN Rini M. Soemarno dan Direktur Utama Telkom Alex J. Sinaga (kiri) meninjau Broadband Learning Center (BLC) Telkom yang telah terpasang Pustaka Digital (PaDi) di SMK Perikanan dan Kelautan Ustutum, Kecamatan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Senin (7/8/2017). (ANTARA/Royke Sinaga)
Kepala Sekolah SMK Kelautan dan Perikanan Desa Ustutun, Charles Enos Taluta mungkin menjadi salah satu penduduk Pulau Liran yang paling berterima kasih atas hadirnya sinyal Telkomsel di wilayah itu.
Pria berusia 37 tahun yang merupakan satu-satunya guru tetap di SMK di Pulau Liran itu mengatakan, setiap tiga bulan sekali dirinya harus pergi berangkat menuju kota Ambon ataupun kota Kupang, NTT hanya untuk mengakses internet agar dapat mengisi aplikasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Untuk mengisi Dapodik butuh waktu perjalanan hingga 2 minggu dari Liran ke Ambon atau ke kota Kupang, pulang pergi. "Jika Dapodik tidak saya isi, maka sekolah ini terancam tidak mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kemendikbud. Bahkan sekolah ini bisa tidak masuk dalam radar Kemendikbud atau dianggap tidak ada," ujarnya.
Charles mengaku bersyukur dengan hadirnya Telkomsel di wilayah itu perannya sebagai tenaga pendidik semakin ringan dan bisa fokus mengajar karena tidak harus meninggalkan sekolah untuk waktu yang cukup lama.
Sama halnya dengan Lalan Mabala (37 tahun). Nelayan dengan tujuh anak ini mengaku kehadiran Telkomsel bisa menjadi penyemangat baginya untuk lebih giat mencari nafkah. "Biaya pulsa pakai Telkomcel atau Telemor sangat mahal. Dengan adanya jaringan Telkomsel kami tidak lagi takut harga ikan hasil tangkapan kami dipermainkan oleh para pengepul," ujarnya.
Lain lagi dengan Camat Wetar Barat Imanuel J.M. Dengan wajah berbinar dan penuh semangat, ia mengatakan bahwa kehadiran Telkomsel di wilayah yang dipimpinnya itu merupakan sebuah berkah yang tidak ternilai harganya.
"Ini soal harga diri. Telkomsel datang, harga diri kami terangkat kembali. Kalau bisa cakupan tower milik Telkomsel harus melalui tower milik mereka (Timor Leste)," kata Imanuel sambil mengepalkan tangan pertanda bahwa perekonomian di Liran segera bangkit.
Ia juga memastikan warganya yang selama ini menggunakan layanan seluler Timor Leste, segera beralih menggunakan layanan Telkomsel milik negeri sendiri selain tarif lokal menggunakan Rupiah, juga tidak lagi harus tersambung roaming internasional.
Sementara itu, Direktur Network Telkomsel Bob Apriawan yang ikut hadir pada kesempatan itu mengatakan, sebagai perusahaan milik bangsa Telkomsel terus mewujudkan komitmen untuk "memerdekakan" wilayah-wilayah di Indonesia yang sebelumnya tidak memperoleh layanan telekomunikasi.
"Dengan semangat tanpa batas, kami berupaya membangun jaringan untuk memajukan negeri dan melayani masyaraka tanpa terkecuali, termasuk di wilayah-wilayah yang secara bisnis tidak menguntungkan," ujar Bob.
Telkomsel patut mendapat acungan jempol. Untuk membangun BTS di Pulau Liran setidaknya dibutuhkan investasi yang besar untuk biaya transportasi dan listrik yang tidak hidup selama 24 jam, sehingga biaya operasional satu unit BTS bisa mencapai Rp120 juta per bulan yaitu untuk pembelian sekitar 1.500 liter BBM dan termasuk menyewa satelit.
Dari sisi bisnis bagi Telkomsel, pembangunan BTS ini tidak menguntungkan. Namun yang penting bahwa wilayah ini secara perlahan terlepas dari isolasi dan dalam jangka panjang perekonomian masyarakat bisa berkembang.
Direktut Utama Tekomsel Ririek Adriansyah mengatakan, dalam satu tahun terakhir Telkomsel telah membangun lebih dari 120 BTS baru di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. "Sudah menjadi tanggung jawab kami untuk mempersatukan negeri secara berkesinambungan dengan terus membangun dan membuka akses layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah perbatasan negara," kata Ririek.
Hingga Juni 2017, Telkomsel memiliki 753 BTS yang beroperasi melayani berbagai wilayah perbatasan di Indonesia, bahkan 117 BTS di antaranya telah dilengkapi dengan teknologi mobile broadband berbasis 4G dan 3G.
Ke-753 BTS itu dioperasikan di perbatasan dengan tujuh negara tetangga termasuk di lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak tersentuh akses telekomunikasi, meliputi sebanyak 17 BTS di Batam dan Bintan yang berbatasan dengan Singapura, 276 BTS berbatasan dengan Malaysia di Dumai, Rokan, Bintan, Karimun, Anambas, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sumatera bagian Utara, Rokan Hilir.
Selanjutnya 70 BTS di Natuna dan Anambas berbatasan dengan Vietnam, 210 BTS di Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Timor Leste, 66 BTS di Pulau Rote dan Maluku berbatasan dengan Australia, 70 BTS di Sulawesi Utara berbatasan dengan Filipina, dan 44 BTS di Papua bagian Timur berbatasan dengan Papua Nugini.
Hadirnya layanan seluler Telkomsel bagi masyarakat diharapkan dapat mendorong pembangunan di daerah perbatasan, di antaranya mempercepat pertumbuhan perekonomian dan kemasyarakatan, sekaligus mampu menjadi katalisator dalam mempromosikan potensi daerah, serta meningkatkan daya tarik investasi, peluang usaha, bahkan lapangan kerja baru.
Secara nasional jumlah BTS Telkomsel sudah lebih 146.000 BTS hingga penjuru Tanah Air yang menjangkau hingga 95 persen wilayah populasi penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 96.000 BTS di antaranya merupakan BTS 4G dan 3G.
Kawasan perbatasan negara harus dijaga, namun tak cukup dengan tugu perbatasan dan teriakan slogan belaka, melainkan perlu bentuk konkret kehadiran negara di tengah masyarakat perbatasan seperti yang dilakukan Telkomsel!!!.
Oleh Royke Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017