Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meminta wacana dan langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mewajibkan para siswa di sekolah menyanyikan kembali lagu “Indonesia Raya†dalam versi tiga stanza pada kesempatan-kesempatan tertentu dikaji kembali dengan memperhatikan pendapat para sejarawan dan pendidik.
“Sebaiknya sebelum melontarkan wacana dan mulai mensosialisasikan kembali lagu ‘Indonesia Raya’ versi lengkap tiga stanza, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkaji secara mendalam persoalan tersebut dengan meminta pendapat para sejarawan dan tokoh pendidikan terlebih dahulu. Ini persoalan yang bisa melahirkan kontroversi. Bahkan, sepuluh tahun lalu persoalan ini pernah jadi kontroversi,†kata Fadli Zon, dalam keterangannya, Jumat.
Fadli mengatakan, jika merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 44/1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, lagu ‘Indonesia Raya’ memang bisa dinyanyikan dengan cara satu stanza atau cara tiga stanza. Kedua-duanya sama-sama dibenarkan oleh undang-undang, katanya.
“Masalahnya, selama lebih dari setengah abad, bahkan hampir dalam semua acara resmi kenegaraan sejak kita merdeka, pada praktiknya kita hanya menyanyikan lagu kebangsaan versi satu stanza saja, tak pernah lengkap tiga stanza. Sehingga, jika kini pemerintah mewajibkan para siswa di sekolah untuk menyanyikan lengkap tiga stanza, bisa muncul beberapa persoalan,†katanya.
Pertama, lanjut Fadli, secara teknis ini akan memunculkan kebingungan di tengah masyarakat umum, terkait mana versi yang benar dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dari sudut legal, kedua-duanya memang dibenarkan. Tapi mewajibkan menyanyi lagu kebangsaan dengan tiga stanza akan menabrak praktik dan konvensi yang telah melembaga di tengah masyarakat kita selama puluhan tahun.
Kedua, kalau membaca kembali Pasal 60 dan 61 UU No. 24/2009, lagu kebangsaan memang diutamakan untuk dinyanyikan dengan cara satu stanza, sebab cara inilah yang pertama kali disebut dalam undang-undang.
"Bahkan, ada tiga ayat yang mengatur bagaimana menyanyikan lagu kebangsaan dengan satu stanza. Adapun Pasal 61, yang membuka opsi dinyanyikan lengkap tiga stanza, posisinya hanya opsional saja, sekadar alternatif, yang ditandai oleh kata ‘apabila’ di awal pasal.â€
“Sekali lagi, tidak salah jika kita menyanyikan lengkap tiga stanza. Tapi karena secara teknis durasi menyanyikan lagu kebangsaan akan jadi lebih panjang, dari semula 2 menit kemudian menjadi lebih dari 4 menit, sejak dulu opsi tiga stanza ini tak pernah dikedepankan oleh undang-undang dan peraturan protokoler yang berlaku,†kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
“Jadi, saya berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meninjau kembali edaran yang meminta siswa dan sekolah wajib menyanyikan lagu kebangsaan dalam versi lengkap tiga stanza. Kalau hanya agar siswa tahu dan hapal untuk kepentingan pelajaran sejarah atau pelajaran kesenian, saya kira tak ada masalah. Namun menjadi bermasalah jika hal itu dijadikan kewajiban, apalagi jika harus diperdengarkan dalam tiap upacara, karena hal itu bisa membingungkan, baik siswa, guru, maupun masyarakat secara umum.â€
Dari sudut pandang yang lebih luas, katanya, juga harus sama-sama memahami jika lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ dalam perjalanan sejarahnya pernah memiliki sejumlah versi lirik dan versi menyanyikan. Hal ini mendorong para pendiri Republik pada 1944 membentuk Panitia Lagu Kebangsaan.
Sayangnya, cara orang memperdengarkan dan menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ tetap beragam. "Itu sebabnya, sesudah kita merdeka, pada 1948 kemudian diterbitkan Penetapan Presiden No. 28/1948 tentang Panitia Indonesia Raya, dan sepuluh tahun kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 44/1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya," katanya.
Tujuannya adalah untuk mengatur dan menyeragamkan cara menyanyikan lagu kebangsaan kita. "Jadi, jangan sampai aturan baru Kementerian Pendidikan ini justru kemudian membuat praktik menyanyikan lagu kebangsaan kita menjadi beragam kembali. Itu tidak bagus," kata Fadli.
Pewarta: Unggul Tri Ratomo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017