Berlin (ANTARA News) - Integrasi imigran Muslim di Jerman berjalan baik dibandingkan dengan di bagian lain Eropa menurut hasil studi Religion Monitor 2017 yang disiarkan Kamis (24/8) oleh Bertelsmann Institute.
Bertelsmann Institute yang berpusat di Guetersloh menyampaikan laporan tahunan mengenai partisipasi sosial-ekonomi dan politik Muslim di negara penampung mereka. Untuk Religion Monitor tahun ini, para peneliti dari University of Duisburg-Essen menyurvei 8.500 orang Muslim dan non-Muslim dari Jerman, Prancis, Inggris, Austria dan Swiss.
Sebanyak 4,7 juta warga Muslim di Jerman membaur dengan baik ke dalam pasar tenaga kerja menuruut temuan penulis studi tersebut, yang dikutip kantor berita Xinhua. Hanya lima persen orang Muslim yang tak bekerja, lebih sedikit dibandingkan dengan angka tujuh persen di kalangan warga non-Muslim.
Dengan demikian, Muslim Jerman menempati posisi kedua dalam studi perbandingan pengangguran di negeri itu, cuma di belakang Inggris di mana angka Muslim dan non-Muslim yang tidak bekerja tercatat masing-masing empat persen dan diikuti oleh Swiss (enam persen berbanding empat persen), Austria (11 persen vs tiga persen), dan Prancis (14 persen vs delapan persen).
Namun, para penulis studi tersebut menyatakan bahwa Muslim sangat mungkin berada dalam posisi genting dan/atau berpenghasilan rendah serta mengingatkan bahwa jumlah itu tidak mencakup pengungsi yang belum lama ini tiba.
Ketika ditanya mengenai keterikatan dengan negara penampung mereka, 64 persen Muslim menanggapi bahwa mereka merasa "sangat terikat" dengan Jerman. Negeri itu menempati posisi ketiga dalam kategori tersebut di belakang Swiss (75 persen) dan Prancis (68 persen), tapi di depan Inggris (45 persen) dan Austria (37 persen).
Stephan Vopel, juru bicara Bertelsmann Institute, mengatakan sejauh mana individu diidentifikasi dengan satu negara tak selalu berkorelasi kuat dengan keberhasilan mereka dalam kategori lain integrasi sosial-ekonomi.
"Saya tak mau berlebihan menilai pentingnya beberapa poin persentase dalam perbedaan keterikatan dengan negara penampung," kata Vopel kepada Xinhua.
Meski secara keseluruhan ada kemajuan positif di Jerman, Stephan Vopel mengingatkan bahwa masih ruang bagi perbaikan integrasi Muslim dalam sistem pendidikan di negeri itu.
"Sistem seleksi sekolah dini di Jerman cenderung mengarah pada kubu status sosio-ekonomi yang sudah dipegang oleh orangtua siswa," katanya.
Di samping itu, setiap lima orang Jerman non-Muslim yang disurvei dalam studi tersebut menyatakan mereka tak mau mempunyai tetangga orang Muslim, sementara orang Muslim yang taat mengeluh menghadapi diskriminasi dalam karir mereka.
"Agak paradoks bahwa Muslim Jerman berintegasi sangat baik dalam beberapa hal, seperti di pasar kerja, namun di sisi lain menghadapi perilaku bermusuhan dari Non-Muslim seperti di Prancis," kata Vopel kepada Xinhua.
Dia menyatakan bahwa meski Jerman baru-baru ini menjalani transformasi menjadi negara imigrasi, namun konsep bersejarah Jerman mengenai kewarganegaraan relatif tidak berubah.
Kendati demikian, ahli Bertelsmann Institute Yasemin El-Menouar menyampaikan keyakinannya bahwa inisiatif-inisiatif baru seperti akses yang lebih cepat ke pasar kerja, serta kursus bahasa dan kewarganegaraan juga akan memastikan keberhasilan integrasi satu juga lebih pengungsi Muslim yang baru-baru ini datang ke Jerman. (Uu.C003)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017