... untuk mengetahui apakah sesuai dengan kontraknya, spek dan sesuai harganya...
Jakarta (ANTARA News) - Pemeriksaan fisik helikopter berat Augusta Westland-101 Merlin oleh tim penyidik KPK dan Polisi Militer TNI di Skuadron Teknik 021 Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis, untuk mencocokkan harga dan spesifikasi helikopter yang semula dikategorikan untuk keperluan VVIP itu.


Belakangan, satu unit helikopter yang datang diam-diam pada April 2017 itu dinyatakan untuk keperluan SAR tempur dan angkut pasukan.

Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Mayor Jenderal TNI Dodik Widjanarko, mengatakan, pemeriksaan fisik AW-101 Merlin itu dalam kaitan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter berat itu.

"Pengecekan fisik, oleh tim ahli dari independen berkaitan dengan ahli pesawat. Satu tim jumlahnya berapa saya belum tahu. Tugas kita hari ini melakukan proses penyelidikan dan penyidikan berkaitan dengan fisik oleh ahli. (Tim independen) Dari KPK dan juga dari POM TNI," ujar Widjanarko, di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis.


Hari ini, Markas Besar TNI membuka pintu hanggar Skuadron Teknik 021 itu kepada pers karena ada pemeriksaan fisik dari KPK. Di dalam hanggar itulah helikopter AW-101 Merlin yang sudah dicat loreng TNI AU dan diberi nomor registrasi H 1001 diparkir dan dipagari garis polisi militer.


Bersama rombongan Polisi Militer TNI, juga bergabung tim penyidik KPK dan tim ahli untuk uji fisik. Paling tidak, terjadi pemeriksaan secara fisik fasilitas-fasilitas dan kelengkapan-kelengkapan di dalam AW-101 Merlin nomor registrasi H 1001 itu.


Lazimnya helikopter SAR tempur dan angkut personel, maka haruslah ada beberapa kelengkapan pokok, di antaranya pintu samping (side-slide door) dan pintu belakang (ramp door), juga katrol (hoist), dan dudukan senapan mesin berat (gun pod), dan sebagainya.


Sedangkan jika untuk keperluan VIP --apalagi VVIP-- maka faktor kenyamanan, keselamatan, dan keamanan misi penerbangan untuk orang super penting itu yang ditonjolkan. Konfigurasi interior jelas berbeda.

Menurut Widjanarko, pemeriksaan ini dalam rangka melengkapi berkas sehingga baik secara formal maupun material semuanya terpenuhi.

"Yang jelas kondisi fisik pesawat, kalau ada bodi pesawat ya bodi, ada mesin ya mesin, kemudian kalau ada yang lain-lain ya mungkin lain-lain. Itu untuk mengetahui apakah sesuai dengan kontraknya, spek dan sesuai harganya. Tapi nanti kalau sudah ada hasil lengkap dari pemeriksaan kami, akan disampaikan. Kalau tidak saya, mungkin KPK," ucapnya.

Dia menegaskan, penyidikan kasus ini akan terus berjalan. Jika dalam hasil pemeriksaan berkembang ada tersangka maka akan disampaikan.

"Kami tidak sembrono menetapkan orang jadi tersangka. Tunggu saja," kata dia.

Terkait perwira tinggi dan perwira menengah TNI yang menjadi tersangka, dia mengaku bahwa mereka masih aktif dan belum dinonaktifkan. Perwira tinggi yang dimaksud bahkan masih ada di posisinya di suatu lembaga pendidikan militer.

"Khan baru disangkakan, kalau namanya disangkakan itu praduga tidak bersalah. kalau disangkakan belum tentu bersalah tapi kalau sudah diputuskan pengadilan jadi terpidana, baru bersalah," ujarnya.

Dalam kasus helikopter AW-101 Merlin itu, Polisi Militer TNI telah menetapkan lima tersangka dari lingkungan militer.


Tiga di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsekal Pertama TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa, Letnan Kolonel WW, sebagai pejabat pemegang kas, dan Pembantu Letnan Dua S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.

Menyusul kemudian Kolonel Perbekalan FTS berperan sebagai WLP; dan Marsekal Muda TNI SB, sebagai asisten perencanaan dan anggaran kepala staf TNI AU.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (23/8), mengatakan, dalam penyidikan kasus itu, KPK juga sedang mendalami saksi-saksi terkait aliran dana pada saat proses pengadaan helikopter AW-101 Merlin itu.

KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM), Irfan Saleh, sebagai tersangka pertama dari swasta. Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, senilai Rp514 miliar.


Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter angkut berat dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar, sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar.


Untuk bisa mengadili personel militer atas dakwaan pidana umum maka diperlukan pengadilan koneksitas.

(Baca: KPK akan cek fisik helikopter AW-101)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017