Jakarta (ANTARA News) - Pengamat energi Mamit Setiawan menilai perubahan harga gas ConocoPhillips di Grissik, Sumsel ke PT PGN di Batam, Kepri dari 2,6 dolar AS menjadi 3,5 dolar per MMBTU pada akhir Juli 2017 cukup wajar.
"Perubahan harga gas itu wajar saja. Melihat berbagai perkembangan lingkungan strategis, keekonomian para pihak sebisa mungkin dibuat menjadi lebih adil. Tapi, harga di end user jangan naik. Justru, kalau bisa turun agar mendorong industri. Coba kita analisis data di balik perubahan harga gas itu," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Direktur Eksekutif Energy Watch itu mengatakan berdasarkan kajian dan data yang dihimpunnya, setidaknya ada lima isu yang perlu dicermati terkait perubahan harga gas ConocoPhillips tersebut.
Pertama, menurut dia, proses renegosiasi harga telah berjalan sejak 2012 dan tidak terjadi secara tiba-tiba.
Perubahan harga pun telah berproses lewat "B to B" antara ConocoPhillips dan PGN.
Bahkan, lanjutnya, pada 2012 sempat ada kesepakatan kenaikan harga secara "B to B" dari harga 2,3 dolar AS menjadi 6,5 dolar per MMBTU, dengan harga di konsumen akhir ikut naik.
"Namun, kesepakatan itu tampaknya tidak disetujui pemerintah," ujarnya.
Kedua, Mamit mengatakan harga gas Conoco ke PGN sebesar 2,6 dolar AS per MMBTU itu ditetapkan pada 2004 yang bersifat "flat" dan belum ada perubahan.
Sementara, dalam 12 tahun terakhir telah terjadi berbagai perkembangan migas, termasuk naik turunnya harga minyak dan biaya.
"Untuk menjaga fairness di sisi supply, ketika harga migas dunia mengalami fluktuasi dalam kurun waktu tertentu, maka wajar jika kemudian ada negosiasi harga agar lebih adil. Seperti negosiasi harga gas Tangguh ke Fujian pada 2006 dan 2014," lanjut Mamit.
Ketiga, menurut dia, harga gas ConocoPhillips 2,6 dolar per MMBTU ke PGN Batam itu, lebih rendah dibandingkan ConocoPhillips Grissik ke Chevron di Duri, Riau 6,8 dolar per MMBTU, ke industri dan pembangkit di Sumsel dan Jawa 5,4 dolar per MMBTU, dan ekspor ke Singapura 7,8 dolar per MMBTU.
Keempat, meskipun ada kenaikan harga di ConocoPhillips ke PGN, tapi harga dari PGN ke konsumen pembangkit listrik dan industri di Batam tidak naik atau tetap 3,3-5,7 dolar per MMBTU.
"Mungkin tujuannya agar tidak memberatkan konsumen dan pro pertumbuhan," ucapnya.
Dengan kenaikan harga gas ConocoPhillips menjadi 3,5 dolar per MMBTU, PGN tetap menjual ke "end user" dengan harga maksimum 5,7 dolar per MMBTU.
Memang, lanjutnya, ada biaya transportasi 0,8 dolar per MMBTU dan biaya lainnya, tetapi PGN tetap mendapatkan profit, meskipun berkurang.
"Kelima, sempat diberitakan bahwa PGN mengalami kerugian sekitar Rp120 miliar per tahun, ini mungkin lebih tepatnya bukan kerugian tetapi potential revenue-nya berkurang, karena PGN tetap ada profit. Sebaliknya, Conoco dan pemerintah akan mendapatkan tambahan revenue. Logikanya, tambahan bagi negara lebih besar, karena bagi hasil gas antara pemerintah dengan kontraktor migas kan 70 persen banding 30 persen after tax," tambahnya.
Mamit juga mengatakan perubahan harga gas di sisi hulu pada akhirnya dapat memberikan sinyal positif agar investasi hulu migas lebih menarik.
"Terlebih, pengembangan migas Indonesia saat ini mulai ke arah laut dalam dan Indonesia bagian timur yang membutuhkan biaya lebih besar," katanya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan keputusan perubahan harga gas tersebut diambil didasarkan pada unsur perhitungan yang berkeadilan, dengan prinsip harus ada pembagian yang adil antara operator di hulu dengan operator di "midstream".
"Pada prinsipnya, gas itu harus ada pembagian yang fair antara operator di hulu dengan operator di midstream. Kalau misalnya harga gas di hulu itu kita tingkatkan, itu penerimaan negara naik. Naiknya sebanding yang ditingkatkan itu. Jadi ini bukan, mengurangi yang ini (PGN), lalu dikasihkan ke ConocoPhillips, bukan," katanya.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2017