... tawaran ini akan bergantung sepenuhnya pada keputusan politik pemerintah Indonesia...
Jakarta (ANTARA News) - Rusia mengaku ingin berinvestasi dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia untuk memastikan pemerataan pasokan energi di negara dengan elektrifikasi yang baru mencapai 89,5 persen.

"Kami berpendapat bahwa kebutuhan listrik di Indonesia tidak akan dapat terpenuhi hanya dengan cara konvensional, oleh karena itulah kami menawarkan pembangkit listrik tenaga nuklir," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, kepada sejumlah wartawan, di Jakarta, Rabu.

"Tapi tawaran ini akan bergantung sepenuhnya pada keputusan politik pemerintah Indonesia," kata Galuzin.

Galuzin menceritakan bahwa Moskow sudah punya pengalaman banyak dalam membangun PLTN di banyak negara dunia.

Tahun lalu misalnya, perusahaan milik negara Rusia mulai membantu pembangunan PLTN senilai 10 milyar dolar AS di Iran.

Beberapa negara lain yang bekerja sama dengan Rusia untuk listrik tenaga nuklir di antaranya adalah Nigeria, Yordania, dan India.


Sekalipun demikian, dunia masih ingat tentang musibah reaktor nuklir Uni Soviet di Chernobyl pada 26 April 1986, yang saat kini bagian dari negara Ukraina. Ratusan ribu orang terdampak secara langsung radiasi nuklir yang juga merusak lingkungan hidup dalam skala waktu sangat panjang. Hal ini menjadi berita dunia dalam waktu panjang saat itu.

Pada Mei lalu, perusahaan milik Rusia, Rosatom State Atomic Energy, juga sempat menawarkan proposal serupa kepada Indonesia melalui Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Pandjaitan.


Mereka sudah mengusulkan beberapa tempat pembangunan PLTN, dengan kapasitan lebih dari 1.000 MegaWatt, yang dinilai bebas dari bencana gempa, di antaranya Pulau Bangka dan Kalimantan Timur.

Namun saat itu Pandjaitan mengatakan, Indonesia belum siap dan masih harus meningkatkan kesadaran publik terlebih dahulu terkait listrik bertenaga nuklir.

Energi nuklir masih menjadi perdebatan di Indonesia. Menurut laporan lembaga World Nuclear Association, Indonesia akan membutuhkan 450 milyar kWh pada 2026 mendatang dengan asumsi pertumbuhan permintaan industri sebesar 10,5 persen setiap tahunnya.

Sebagian besar kebutuhan itu kini masih disuplai pembangkit listrik Jawa-Bali, yang menggunakan bahan bakar minyak dan gas, dengan tingkat cadangan yang rendah sehingga listrik sering padam karena tidak mampu memenuhi tingginya permintaan.

Atas situasi itulah Rusia mengusulkan pembangunan PLTN yang tidak hanya menaikkan rasio eletrifikasi tetapi juga memastikan pasokan tetap bisa diandalkan.

Tetapi di sisi lain, limbah dari PLTN yang sangat beracun dan tidak bisa diolah juga sering menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan.

Sampai saat ini, satu-satunya cara untuk membuang limbah nuklir adalah dengan menimbun sampah tersebut di bawah tanah. Namun mengingat Indonesia adalah negara di kawasan cincin api yang rawan gempa, metode itu sangat berpotensi membuat tempat penyimpanan limbah bocor dan meracuni air tanah.

Peristiwa kebocoran tersebut pernah terjadi di Jepang, negara yang dikenal berhasil mengembangkan teknologi tinggi, pada 2011 saat gempa berkekuatan 9,0 pada skala Richter membuat tempat penyimpanan limbah nuklir di Fukushima bocor.


Menurut Greenpeace, dampak dari kebocoran itu akan merusak ekosistem selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Pewarta: GM Lintang
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017