Markas Besar PBB (ANTARA News) - Dewan Keamanan PBB, Rabu waktu setempat, akhirnya mengesahkan Resolusi PBB Nomor 1757 tentang pemberlakuan Pengadilan Khusus pembunuhan mantan PM Lebanon, Rafik Hariri, melalui voting, dengan 10 suara mendukung, namun lima negara, yaitu Indonesia, Rusia, China, Afrika Selatan dan Qatar, menyatakan abstain. Pemungutan suara dilakukan dalam sidang Dewan Keamanan yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, dan dipimpin oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Zalmay Khalilzad -- yang negaranya sedang menjabat sebagai ketua DK-PBB untuk bulan Mei. Seperti diperkirakan sebelumnya, resolusi akhirnya disahkan tidak dengan suara bulat karena hingga Selasa (29/5) malam sejumlah negara anggota PBB, termasuk dua anggota permanen dengan hak veto --,China dan Rusia,-- serta lima anggota tidak tetap, yaitu Indonesia, Afrika Selatan, Qatar, Panama dan Republik Demokratik Kongo, masih menunjukkan keberatannya. Keberatan itu terutama dalam hal aspek hukum, termasuk dengan dimasukkannya paragraf mengenai Bab 7 Piagam PBB yang dianggap telah mengambil alih wewenang konstitusi dalam negeri Lebanon. Dalam sidang Dewan Keamanan, Rabu, soal pengadilan Lebanon, baik Dubes Panama Ricardo Laberto Arias maupun Dubes Kongo untuk PBB, Basile Ikoube, tidak hadir dalam pertemuan yang diisi dengan pemungutan suara itu. Resolusi 1757 yang disponsori oleh enam negara itu,Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belgia, Italia dan Slovakia, memutuskan bahwa berdasarkan Bab 7 Piagam PBB` Pengadilan Khusus bagi Lebanon akan mulai berlaku pada 10 Juni 2007, kecuali jika sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 Perjanjian antara PBB dan Lebanon soal pembentukan pengadilan khusus, Pemerintah Lebanon dapat melakukannya sebelum tanggal yang telah ditentukan. Pasal 19 ayat 1 mengatur bahwa pengadilan khusus akan berlaku jika ada pemberitahuan dari Pemerintah Lebanon kepada PBB. Resolusi 1757 menetapkan bahwa jika komposisi hakim -- lokal dan internasional -- belum ditentukan, penentuan akan dilakukan melalui perundingan dengan Pemerintah Lebanon dan berdasarkan perjanjian Lebanon-PBB, serta dengan negara yang menjadi tuan rumah penggelaran sidang pengadilan. Dalam hal pendanaan, jika Pemerintah Lebanon tidak mampu membiayai 49 persen dari total dana pengadilan, Sekretaris Jenderal PBB dibolehkan menerima atau menggunakan sumbangan sukarela dari negara-negara lain untuk membantu pendanaan pengadilan di Lebanon. Dewan Keamanan melalui Resolui 1757 meminta Sesjen PBB bersama pemerintah Lebanon melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan dalam memberlakukan pengadilan dan meminta Sesjen PBB memberikan laporan dalam waktu sekitar tiga bulan tentang pelaksanaan resolusi. Indonesia, Rusia, China, Afrika Selatan dan Qatar, menyatakan pandangan yang sama bahwa para pembunuh Rafik Hariri harus diadili. Namun mereka meyakini bahwa dengan menerapkan Bab 7 Piagam PBB, Dewan Keamanan telah mengambil alih proses nasional dalam negeri Lebanon. "Dewan Keamanan PBB tidak boleh terlibat dalam melakukan interpretasi, apalagi mengambil alih, aturan undang-undang dasar yang harus dipatuhi sebuah negara oleh pihak-pihak berwenang (negara yang bersangkutan)," kata Wakil Tetap RI untuk PBB Hasan Kleib, dalam sidang Dewan Keamanan. Wakil Tetap Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin, mengatakan tidak ada alasan bagi Dewan Keamanan untuk memberlakukan Bab 7 Piagam PBB. Keberatan yang disampaikan kelima negara tersebut antara lain juga mencakup pandangan bahwa pemberlakuan pengadilan khusus belum tepat dilakukan mengingat situasi keamanan saat ini di Lebanon sedang rawan oleh kekerasan, konflik dan perpecahan di antara berbagai pihak. Dengan mengesahkan resolusi, Dewan Keamanan juga dianggap telah melakukan praktek keberpihakan di Lebanon. Pengadilan khusus tentang pembunuhan Hariri sendiri sudah dibentuk melalui perjanjian bilateral antara PBB dan Pemerintah Lebanon pada 23 Januari dan 6 Februari 2007. Pembentukan pengadilan itu akan berlaku jika sudah diratifikasi oleh parlemen Lebanon tetapi karena terjadi jalan buntu, Perdana Menteri Siniora telah mengirim surat yang meminta Dewan Keamanan membantu menetapkan masa berlaku pengadilan tersebut. Namun ternyata, pada saat yang hampir bersamaan, PBB juga menerima surat dari Presiden Lebanon Emil Lahoud yang justru menolak campur tangan Dewan Keamanan dalam menentukan masa berlaku pengadilan dengan alasan hal itu merupakan masalah konstitusional dalam negeri. Lahoud juga mengingatkan bahwa campur tangan DK justru akan dapat memicu destabilasi di negara yang saat ini menghadapi masalah perpecahan di antara berbagai pihak. (*)

Copyright © ANTARA 2007