Canberra (ANTARA News) - Kepala Pemerintah Negara Bagian New South Wales (NSW), Morris Iemma, menolak meminta maaf atas perlakuan tak pantas yang diterima Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dari dua polisi NSW yang memasuki kamar hotelnya 29 Mei lalu untuk menyerahkan surat pemanggilan pengadilan "Coroner Inquest Balibo Five 1975" itu. Kepastian tentang sikap Premier NSW Morris Iemma itu disampaikan stasiun televisi Channel 7 Australia dalam "breaking news"-nya Kamis pagi. Channel 7 menyebutkan Premier Iemma menolak meminta maaf atas insiden yang dianggap Gubernur Sutiyoso sebagai pelecehan terhadap dirinya selaku tamu pemerintah NSW itu, karena Iemma menganggap kedua polisi itu hanya ingin menyerahkan surat saja. Sebelumnya, dalam wawancara khusus Channel 7 dengan seorang koresponden senior politik media itu, diungkapkan bahwa adanya ungkapan permintaan maaf dari Premier Morris Iemma justru akan meredakan dampak politis yang ditimbulkan oleh insiden Sydney itu. Diungkapkannya bahwa pemerintah federal tidak akan meminta maaf atas insiden ini, karena yang paling mungkin justru penyampaian maaf itu datang dari Premier Morris Iemma. Ia juga mengatakan dalam hubungan bilateral kedua negara yang "ringkih" ini, isu Timor Timur merupakan isu yang sensitif, namun dalam perang melawan terorisme, hubungan kepolisian kedua negara sangat berhasil. Pemerintah Australia juga menepis tuntutan berbagai kalangan di Indonesia agar ada permintaan "maaf" atas perlakuan tidak pantas terhadap Gubernur Sutiyoso ketika berada di Sydney sebagai tamu Pemerintah NSW, karena Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) di Canberra menganggap kasus itu sebagai "masalah (pengadilan) koroner dan polisi NSW". "Ini adalah masalah pihak Koroner dan Polisi New South Wales, sedangkan Pemerintah Australia tidak mengontrol proses koronial (kasus Balibo Five 1975-red.) itu," kata seorang jurubicara DFAT dalam pernyataannya kepada ANTARA sebelumnya. Jurubicara DFAT yang tidak hendak disebutkan namanya itu mengemukakan pihaknya telah dihubungi KBRI Canberra yang menyampaikan "keprihatinan" atas kejadian 29 Mei 2007 itu. "Kami jelaskan perihal independensi pengadilan koroner dan memperhatikan pernyataan deputi koroner...," katanya. Terkait dengan masalah penyampaian surat pemanggilan terhadap Gubernur Sutiyoso untuk memberikan kesaksian di pengadilan koroner kasus tewasnya lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur, tahun 1975 yang kemudian dikenal dengan istilah "Balibo Five", Deputi Koroner NSW, Dorelle Pinch, mengaku bahwa dia memang memanfaatkan kedatangan Sutiyoso ke Sydney itu. Suratkabar "The Australian" menyebutkan, Pinch mengirim dua polisi itu untuk menyampaikan surat pemanggilan kepada Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso setelah tahu Sutiyoso sedang berkunjung ke Sydney atas undangan Premier Morris Iemma. Hal itu dilakukan karena "sangat kecilnya peluang buat saya untuk memastikan kehadirannya (Sutiyoso)", kata Pinch seperti dikutip The Australian. Sementara itu, Jurubicara KBRI Canberra, Dino Kusnadi, kepada ANTARA mengatakan, pihaknya hingga Kamis Pukul 10.30 waktu Canberra belum menerima tanggapan resmi dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) atas surat KBRI yang dikirim Rabu. Mengenai pernyataan Mark Tedeschi QC, konsel (penasehat) yang membantu pengadilan koroner Sydney dalam kasus "Balibo Five" bahwa ada bukti yang tak terbantahkan tentang keterlibatan TNI dalam terbunuhnya lima wartawan Australia itu, Dino mengatakan ia tidak mau mengomentari hal itu karena masalah Balibo Five sudah dianggap selesai oleh Pemerintah Indonesia. "Masalah Balibo itu sudah final, dan itu adalah keputusan dari Pemerintah Indonesia, bukan KBRI Canberra." katanya. Selain itu, pihaknya belum melihat adanya argumen-argumen yang mengarahkan rekomendasi itu sudah tersampaikan ke publik, katanya. Dalam pernyataannya hari Rabu (30/5), Tedeschi mengatakan "setidaknya tiga orang wartawan tewas ditembak setelah ada perintah Kapten Yunus Yosfiah dan yang kelima ditikam (serdadu) Christoforus Da Silva". Insiden Sydney yang memicu berbagai tanggapan di Jakarta dan Canberra itu bermula dari datangnya dua polisi NSW ke kamar hotel Gubernur Sutiyoso untuk menyampaikan surat panggilan menghadiri pemeriksaan jaksa "Coroner Inquest" kasus "Balibo Five" 1975 dengan cara masuk ke kamar Sutiyoso dengan menggunakan kunci master kamar hotel. Juru Bicara KBRI Canberra, Dino Kusnadi, mengatakan akibat insiden yang terjadi di kamar Hotel Shangri-La Sydney No 3107 tempatnya menginap itu, Gubernur Sutiyoso dan rombongan pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengunjungi Sydney sebagai tamu Pemerintah NSW itu mempercepat kunjungannya. "Pak Sutiyoso dan rombongan sudah pulang ke Jakarta via Singapura dengan pesawat yang berangkat dari Bandara Internasional Sydney, Selasa malam Pukul 22.00 waktu setempat. Dengan demikian beliau membatalkan rencana kunjungannya ke Canberra pada 30 Mei," katanya. Sutiyoso adalah lulusan Akademi Militer Nasional 1968 dan pernah dilibatkan dalam operasi Flamboyan dan Seroja di Timor Timur pada 1975. Namun, Sutiyoso sendiri menjelaskan bahwa dia dan para anggotanya tidak pernah memasuki Balibo ketika itu. Kehadiran Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Sydney, seperti dikatakan Konsul Bidang Ekonomi Konsulat Jenderal RI Sydney, Kusno Wibowo Mazwar, dalam penjelasannya kepada ANTARA 25 Mei lalu, bertujuan untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) yang menandakan pengaktifan kembali kerja sama "provinsi kembar" (sister province) dengan Negara Bagian NSW. Menanggapi insiden ini, Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana menegaskan Pemerintah Austalia harus menyampaikan permohonan maaf dan Pemerintah Indonesia dan juga harus mengeluarkan surat protes terhadap pemerintah Australia atas kejadian tersebut. Ketua DPR-RI, Agung Laksono, mengecam tindakan polisi Australia terhadap Gubernur DKI Sutiyoso dan mendesak pemerintah negara itu meminta maaf secara terbuka. Agung menyatakan tindakan polisi Australia itu sebagai pelecehan terhadap harkat dan martabat Bangsa Indonesia dan tidak senonoh, apalagi dilakukan terhadap seorang gubernur di ibukota negara. (*)
Copyright © ANTARA 2007