Washington (ANTARA News) - AS mengenakan tarif anti dumping untuk kertas olahan dari China, Indonesia, dan Korea Selatan, demikian menurut Departemen Perdagangan AS, Kamis atau Rabu waktu setempat.
Pemerintah negara adikuasa itu juga memerintahkan petugas pabean untuk memungutnya.
Depdag AS mengungkapkan adanya temuan awal dalam investigasi anti-dumping pada impor kertas berlapis atau "glossy paper" dari China.
Depdag AS sendiri telah mengumumkan rencana awal untuk memungut tarif penalti atas impor "glossy paper" China yang digunakan untuk brosur, majalah, buku-buku seni dan publikasi lainnya dua bulan lalu untuk menutupi subsidi pemerintah China.
Keputusan itu membalikan kebijakan AS yang telah berusia 23 tahun untuk tidak menerapkan pungutan pada produk-produk yang disubsidi dari negara-negara non-market seperti China.
Mengingat dumping yang dilakukan atas impor "glossy paper" China sangat tidak adil, Depdag AS telah menginstruksikan Pabean AS dan Penjaga Perbatasan untuk memungut uang atau obligasi berdasarkan tarif penalti yang telah ditentukan. Pungutan itu akan disimpan untuk ditentukan kemudian.
Berdasarkan temuan awal, produsen dan eksportir China menjual "glossy paper" di AS pada 23,19 dolar AS atau 99,65 persen lebih rendah daripada harga sebenarnya.
"Pemerintah secara agresif dan transparan akan terus menerapkan aturan perdagangan untuk memastikan keadilan bagi industri, pekerja dan petani AS," kata Menteri Perdagangan AS, Carlos Gutierrez, kepada AFP.
Keluhan pertama disampaikan kepada Depdag AS pada Oktober oleh perusahaan AS, NewPage Corp, yang menyatakan impor "high-gloss paper" China mendapatkan banyak subsidi, seperti pembebasan pajak, penghapusan utang dan pinjaman bunga rendah, sehingga produsen AS melihatnya ini sebagai persaingan yang tidak adil.
Depdag AS kemudian menindaklanjuti dengan melakukan investigasi pada November.
Sementara itu, Presiden AS George W. Bush terus mendapat tekanan dari Kongres yang didominasi Partai Demokrat agar mengambil langkah tegas untuk menekan defisit perdagangan dengan China yang melonjak hingga mencapai 232,5 miliar dolar AS tahun lalu.
Pemerintah China sendiri telah mengajukan protes atas perlakuan itu. "Keputusan itu membahayakan ketertarikan dan perasaan pelaku bisnis China dan tidak dapat diterima," ujar Jurubicara Depdag China, Wang Xinpei, bulan lalu. (*)
Copyright © ANTARA 2007