Jakarta (ANTARA NEws) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menilai bahwa perlu ada perombakan pola pemberantasan korupsi, sehingga menjadi lebih efektif dan terarah. Menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Rabu, Hasyim mengatakan, pemberantasan korupsi yang berlangsung saat terkesan tidak dirancang secara serius, sehingga tidak berjalan secara sistematis dan tidak jelas target yang ingin dicapai. "Harusnya, pemberantasan korupsi ini suatu gerakan yang berlangsung serentak dan langsung di bawah kendali Presiden, bukan diserahkan pada satu komisi," katanya. Setelah dirancang secara baik, lanjut Hasyim, berikutnya dilakukan prakondisi, artinya ada pentahapan. Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, dan Polri dinaikkan. Orang-orang yang merasa mengambil uang negara diberi kesempatan mengembalikan uang tersebut hingga batas waktu yang ditentukan. Begitu prakondisi berjalan, ujar Hasyim, dilakukan konsensus antar lembaga negara untuk bersama-sama menyukseskan gerakan pemberantasan korupsi, menentukan waktu dimulainya gerakan, serta menyatu-padukan aparat penegak hukum. "Sehingga, tidak lagi terjadi kasus koruptor yang susah payah menangkapnya justru bebas di pengadilan atau ada lembaga negara yang justru melindungi," katanya. Puncak dari semua itu, kata Hasyim, adalah moralitas pemimpin. Artinya, pemimpin harus siap menghukum siapa saja yang bersalah, termasuk dirinya sendiri dan keluarganya. "Kalau sudah terpenuhi semua, baru kita mulai. Siapapun harus siap dihukum jika memang terbukti melakukan korupsi, termasuk presiden dan keluarganya," katanya. Dikatakannya, jika pola pemberantasan korupsi tetap seperti sekarang dan diserahkan pada komisi yang tak jelas siapa atasannya, namun bisa diintervensi kekuasaan, maka praktik tebang pilih, politisasi, sulit dihindari. "Yang pejabat tinggi, yang dekat kekuasaan tak dapat disentuh. Yang tidak disukai kena, yang disukai tidak kena. Jadi yang kena saat ini adalah orang-orang yang apes saja," katanya. Jika diperhatikan, katanya, mereka yang terjaring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rata-rata adalah orang yang korupsi karena kesalahan administrasi dan orang yang "terpeleset". Ia mencontohkan, anggota Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazarudin Sjamsudin, anggota KPU Mulyana W. Kusumah, mantan Menteri Agama Said Agil Al Munawwar, Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR, dan sejumlah pejabat daerah lainnya. "Sementara Hamid aman-aman saja. Lha ini kan membuat mangkel yang lain," katanya. Hamid yang dimaksudnya adalah Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang diduga terkait dengan dana milik Tommy Soeharto. Praktik tebang pilih, apalagi yang terkesan politis, kata Hasyim, dikhawatirkan hanya akan memunculkan dendam. Artinya, orang-orang yang saat ini berada pada kekuasaan atau dekat dengannya, akan dijadikan sasaran ketika rezim berganti. "Saya khawatir, praktik tebang pilih ini di belakang hari akan menimbulkan aksi balas-membalas. Orang-orang SBY nanti yang ganti dikejar-kejar. Kalau begini kan kacau," katanya. SBY adalah sebutan bagi Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI. Satu hal lagi yang tidak kalah penting, kata Hasyim, adalah jangan sampai pemberantasan korupsi hanyalah kezaliman yang berbungkus keadilan, yakni dengan mengatasnamakan hukum menzalimi orang-orang yang tidak disukai. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007