Timika (ANTARA News) - Sebanyak 248 nelayan dari beberapa daerah yang selama ini bermukim di sekitar kawasan Pelabuhan Paumako Timika mengungsi ke Sekretariat Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) Kabupaten Mimika di Kelurahan Kamoro Jaya sejak Rabu (9/8) malam, setelah ada penyerangan dari kelompok nelayan lokal petang harinya.
Nelayan yang berasal dari Pulau Jawa, Maluku, Sulawesi dan Sumatera terlibat bentrok dengan kelompok nelayan lokal pada Rabu petang. Seorang nelayan lokal tewas karena terkena peluru aparat keamanan akibat bentrok sengit yang bermula dari perebutan lahan pencarian ikan di wilayah perairan Mimika itu.
Ketua KKJB Mimika Pardjono di Timika, Jumat, mengatakan aparat TNI telah mengevakuasi sebagian besar nelayan yang berasal dari luar Papua dari Pelabuhan Paumako ke Sekretariat KKJB Mimika.
"Sekitar 15 orang lagi masih berada di PPI Paumako. Kami tidak bisa jemput mereka karena situasinya belum benar-benar kondusif," kata Pardjono.
Nelayan yang berasal dari luar Papua mengaku sejak 2015 harus membayar upeti Rp100 ribu per bulan kepada oknum pengurus Rukun Tetangga (RT) di kawasan Pelabuhan Paumako untuk pengamanan barang milik mereka. Masalah itu terungkap saat pertemuan dengan enam kepala kampung pemilik hak ulayat atas kawasan Pelabuhan Paumako.
Para kepala kampung keberatan dengan praktik pungli seorang oknum petugas RT dan meminta nelayan tidak lagi menyetor upeti kepada oknum berinisial AC tersebut, namun membayar ke kepala kampung.
"Sudah ada kesepakatan dengan enam kepala kampung bahwa setiap kepala wajib menyetor Rp300 ribu kepada kepala kampung, bukan lagi kepada AC. Mungkin karena jengkel, dia memprovokasi warganya sehingga terjadilah bentrok," tutur Pardjono.
Keputusan Bijak
Kepolisian Daerah Papua mengharapkan Pemerintah Kabupaten Mimika bijaksana dalam menyikapi konflik antar-kelompok nelayan di wilayahnya.
Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Polisi Boy Rafli Amar mengatakan keputusan moratorium operasi penangkapan ikan oleh nelayan dari luar Papua di wilayah perairan Mimika yang diterbitkan Dinas Kelautan dan Perikanan Mimika belum lama ini perlu mempertimbangkan berbagai aspek agar tidak menimbulkan konflik di antara nelayan.
"Semua harus dimediasi dengan bijaksana karena kita semua warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama atas sumber daya yang ada. Kita harus menghilangkan sikap diskriminatif. Pemda perlu arif dan bijaksana menyikapi masalah ini," katanya.
Ia mengatakan kebijakan Pemerintah Kabupaten Mimika dalam hal mengatur pemanfaatan sumber daya perikanan di perairannya harus dapat menjamin dan mengakomodasi kepentingan semua pihak, baik nelayan lokal maupun nelayan luar Papua.
Kehadiran nelayan dari luar Papua, ia menjelaskan, juga perlu diatur agar tidak sampai mengganggu usaha penangkapan ikan para nelayan lokal yang memang menggantungkan kehidupan mereka pada sumber laut dan sungai di sepanjang pesisir Mimika.
Namun, ia melanjutkan, kehadiran nelayan dari luar Papua juga diperlukan guna menjamin ketersediaan stok ikan dengan harga yang ekonomis demi mendorong tumbuh kembangnya perekonomian masyarakat di wilayah Mimika.
"Perlu mengkaji kembali moratorium yang dikeluarkan oleh Pemda Mimika itu. Yang paling utama. Semua produk kebijakan yang dikeluarkan harus arif, bijaksana dan tidak bersifat diskriminatif," katanya.
Sementara Komandan Korem 174 Anim Ti Waninggap Merauke Brigjen TNI Asep Gunawan menyadari bahwa kebijakan moratorium penangkapan ikan di wilayah perairan Mimika sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah kabupaten setempat.
Namun ia menyarankan pemerintah kabupaten melakukan sosialisasi kebijakan tersebut hingga ke para nelayan agar tidak menimbulkan ketidakpuasan yang berujung pada tindakan anarkis sebagaimana yang terjadi di kawasan Pelabuhan Paumako pada Rabu (9/8) petang.
"Itu kewenangan Pemda Mimika yang punya wilayah. Hanya saja perlu sosialisasi yang efektif. Kalau tidak ada sosialisasi, jadinya seperti kemarin itu sampai Kantor Polsek Pelabuhan Paumako dirusak dan terjadi bentrok hebat antarkelompok nelayan," katanya.
Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017