"Konsumen perlu menunggu sampai status perizinan dan legalitasnya jelas. Jangan tergiur dengan iming-iming dan janji fasilitas yang ditawarkan pengembang," kata Tulus melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis.
Tulus meminta konsumen untuk membaca dengan teliti semua dokumen yang diajukan pengembang sebelum menandatangani dokumen tersebut. Begitu pula dengan bukti pembayaran, pastikan menerima dokumen resmi saat membayar tanda jadi bukan sekadar kuitansi sementara.
Khusus untuk kota metropolitan di Jawa Barat, Tulus mengatakan berpotensi bermasalah di kemudian hari karena pengembang sudah mempromosikannya secara besar-besaran baik di media cetak, televisi, maupun media lainnya.
"Meskipun Wakil Gubernur Dedi Mizwar sudah meminta pengembang untuk menghentikan penjualan dan aktivitas pembangunan, promosi tetap berjalan yang bertujuan untuk menjual produk propertinya," tuturnya.
Tulus mengatakan hal itu jamak dilakukan oleh pengembang dengan istilah penjualan sebelum proyek atau "pre-project selling". Praktik tersebut, menurut dia, seringkali menempatkan konsumen pada posisi yang dirugikan di kemudian hari.
"Konsumen rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atau kepastian pembangunan. Padahal, pemasaran yang dilakukan diduga kuat melanggar ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun," jelasnya.
Menurut peraturan tersebut, pengembang rumah susun wajib memiliki jaminan atas kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan gedung, perizinan dan jaminan pembangunan sebelum melakukan pemasaran.
"Salah satu contoh konsumen yang menjadi korban praktik tersebut adalah komedian tunggal Mukhadly alias Acho yang mengeluhkan promosi pengembang tidak sesuai dengan realisasi di lapangan," katanya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017