Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyatakan bahwa Panitia Khusus Hak Angket terkait tugas dan Wewenang KPK tidak perlu meributkan soal "safe house" saksi KPK.
"Karena tindakan Pansus seperti itu akan merugikan upaya-upaya perlindungan saksi dan korban di masa mendatang," ucap Syarif di Jakarta, Rabu.
Namun, kata dia, KPK mempersilakan jika anggota Pansus memang ingin mengunjungi "safe house" tersebut.
"Silakan mereka lihat karena tidak ada yang disembunyikan, agar tidak ada lagi yang bilang rumah sekap," ucap Syarif.
Panitia Khusus Hak Angket DPR terkait Tugas dan Wewenang KPK akan mengunjungi dua lokasi yang diduga menjadi tempat "penyekapan" saksi KPK, pada pekan ini, kata Ketua Pansus Angket Agun Gunandjar Sudarsa.
"Kunjungan itu kemungkinan besok atau Jumat. Lokasinya dua atau tiga karena disesuaikan dengan waktunya singkat yaitu Jumat," kata Ketua Pansus Angket Agun Gunandjar di sela-sela pertemuan dengan Prodem di Gedung Nusantara III, Rabu.
Lokasi penyekapan itu seperti yang diungkapkan saksi kasus suap Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa saat Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus Angket beberapa waktu lalu.
Dalam perkembangannya Niko melalui kuasa hukum sudah melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Mabes Polri.
Agun mengatakan Pansus sudah berkomunikasi dengan Kepolisian terkait rencana kunjungan Pansus tersebut karena sudah dilaporkan mengenai dua lokasi yang diduga sebagai lokasi penyekapan saksi KPK tersebut.
Sebelumnya, dalam rapat dengan Pansus Angket KPK itu, Niko sempat menyebutkan bahwa KPK mempunyai rumah khusus untuk menyekap saksi.
"Niko pernah minta perlindungan ke KPK, tidak secara otomatis dikabulkan. Kami analisis dan cek ke lokasi apa ada serangan intimidasi, kemudian perlindungan kami berikan. Ternyata yang bersangkutan perlu ditempatkan di "safe house" agar saksi merasa aman. Namun, kami tidak bisa sampaikan lokasi "safe house" itu karena rahasia," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/7).
Sementara terkait biaya hidup selama di "safe house itu, Febri menyatakan KPK mempunyai kewajiban dalam aturan perlindungan saksi dan korban termasuk penggantian biaya hidup.
"Indikatornya, kami tahu Niko tidak bekerja dan tidak ada penghasilan yang didapat dari pihak keluarga sementara keterangannya sangat dibutuhkan dalam proses hukum," kata Febri.
Atas dasar itu, kata dia, maka diberikan penggantian biaya hidup sesuai standar biaya UMR di daerah di mana Niko berdomisili saat itu.
"Namun, dalam perjalanan, kami dapatkan dari istri yang bersangkutan bahwa keberadaan Niko sempat tidak diketahui. Kami dapatkan informasi termasuk ada indikasi KDRT, maka pemberian bantuan kami transfer langsung kepada pihak keluarganya," ujarnya.
Permasalahan lainnya, kata Febri, Niko tidak mematuhi perjanjian untuk datang ke persidangan dan terdapat pelanggaran-pelanggaran lainnya sehingga KPK memutuskan menghentikan perlindungan tersebut.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017