Mereka mengincar uang pesangon besar ketika kerja sama berakhir 2019. Masak pemegang saham dan pemerintah diam ketika asetnya hendak dibangkrutkan sekelompok pekerja rakus."

Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Serikat Pekerja (SP) PT Jakarta International Container Terminal (JICT) menghentikan aksi mogok kerja sejak Senin pukul 16.00 WIB (7/8) dinilai sebagai bukti bahwa SP sudah kehilangan dukungan mayoritas pekerja JICT.

"Pada akhirnya mayoritas pekerja JICT sadar bahwa mereka telah diperdayai oleh oknum-oknum pekerja yang hanya mengejar uang. Sikap SP yang terus melawan pemegang saham sudah tidak didukung pekerja JICT," kata Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Semula SP JICT akan mogok kerja mulai 3-10 Agustus 2017 dengan agenda utama menuntut manajemen membayarkan bonus tambahan karena menganggap bonus sebesar Rp47 miliar yang telah diberikan kepada pekerja JICT pada 10 Mei 2017 kurang banyak.

Namun aksi mogok kerja tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap layanan bongkar muat dan arus barang pelanggan JICT.

Manajemen JICT berhasil menjalankan rencana darurat dengan mengalihkan layanan pelanggan JICT ke terminal di Tanjung Priok seperti NPTC1, MAL, Terminal 3 dan TPK Koja.

JICT juga melakukan kerja sama dengan TPK Koja untuk mengoperasikan dermaga utara JICT sepanjang 720 meter.

"Semua pelayanan kepada pelanggan JICT tetap berjalan lancar dan optimal selama periode mogok pekerja. Dukungan dari stakeholders dan pekerja yang tidak ikut mogok menjadikan JICT tetap solid," jelas Riza Erivan, Wakil Direktur Utama PT JICT sebelumnya.

Siswanto mengatakan, para pekerja JICT mulai menyadari bahwa upaya-upaya yang dilakukan SP JICT justru menjadi ancaman bagi nasib mereka.

Hal itu karena jika SP tetap ngotot menolak perpanjangan kerja sama antara PT JICT dan PT Pelindo II untuk mengelola dermaga milik Pelindo II, para pekerja JICT terancam jadi pengangguran di 2019 saat kerja sama berakhir.

Berakhirnya kerja sama JICT-Pelindo II tidak serta merta menjadikan PT JICT otomatis dimiliki 100 persen oleh Pelindo II karena sebagai entitas bisnis, kepemilikan saham di JICT tidak akan berubah, kecuali pemegang saham melakukan pengalihan.

"Jika perpanjangan kerja sama JICT-Pelindo II dibatalkan, saya tidak yakin Pelindo II mau membeli saham Hutchison di JICT. Duitnya darimana, Pelindo pasti memilih kerja sama dengan perusahaan lain. Apalagi JICT mesti bayar pesangon besar kepada pekerja yang angkanya triliunan rupiah," ungkap Siswanto.


Tindak Tegas

Menurut Siswanto sikap SP JICT yang memaksakan kehendak kepada perusahaan harus ditindak tegas.

"Manajemen JICT jangan mau berkompromi dengan pekerja yang terus berusaha mematikan perusahaan," katanya.

Siswanto menilai, motif SP JICT menolak perpanjangan kerja sama JICT-Pelindo II jelas hanya uang.

"Mereka mengincar uang pesangon besar ketika kerja sama berakhir 2019. Masak pemegang saham dan pemerintah diam ketika asetnya hendak dibangkrutkan sekelompok pekerja rakus," tegas Siswanto.

Itu sebabnya, tambah Siswanto, perpanjangan kerja sama JICT-Pelindo II adalah opsi terbaik.

Pelindo II menjadi pemilik mayoritas di JICT dan mendapatkan biaya sewa dermaganya sebesar 85 juta dolar AS atau hampir Rp1 triliun per tahun. Dana tersebut bisa digunakan untuk investasi di tempat lain oleh Pelindo II.

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017