"Saya biasa menghabiskan lima sampai 10 menit untuk makan dalam memusatkan perhatian pada pelajaran sebelum ikut ujian Kankor (istilah terkenal buat ujian masuk universitas). Pernah, saya selesai menyantap makanan dalam hitungan menit, karena saya sangat sibuk dengan pelajaran saya," kata Mohammad Reza Rafat kepada Xinhua belum lama ini.
Reza (18), yang bekerja di industri penenunan karpet di Dasht-e-Barchi --beberapa kilometer di sebelah barat pusat Kota Kabul, Ibu Kota Afghanistan-- setelah 14 tahun menyelamatkan diri dari kemiskinan parah di Kabupaten Panjab di Provinsi Bamyan di Afghanistan Tengah, mengatakan ia memimpikan menjadi seorang spesialis medis terlatih untuk mengobati penyakit warganya.
"Jadi, saya memutuskan untuk belajar dengan sungguh-sungguh untuk menjadi ahli bedah kanker pada masa depan agar bisa mengobati warga yang sakit dan menghabiskan sangat banyak uang untuk pengobatan di luar negeri atau di negara tetangga," kata Reza dengan suara riang.
Ia mengatakan ia tak pernah percaya bahwa mungkin untuk memperoleh nilai tinggi dalam Kankor, tapi mengingat kerja kerasnya dan caranya belajar dari senja hingga fajar, ia berharap bisa meraih nilai yang layak untuk belajar medis dalam ujian terbuka.
"Nilai saya dalam ujian sementara sangat bagus, sehingga membuat saya berharap bisa memperoleh nilai bagus dalam ujian Kankor juga," kata siswa tersebut selama wawancara dengan Xinhua.
Menurut Reza, seorang teman sekelasnya lah yang pertama kali memberitahu dia mengenai ia memperoleh nilai tinggi dalam ujian. "Saya sedang tidur, ketika seorang teman dan teman sekelas saya bergegas memberitahu saya mengenai keberhasilan saya dalam ujian itu. Tapi saya kira ia bercanda."
"Saya tak mempunyai saluran Internet, atau telepon genggam untuk memeriksa apakah ia benar. Jadi saya pergi ke warung Internet terdekat untuk memeriksa. Ia benar. Saya telah berhasil meraih posisi tinggi dalam ujian masuk nasional," kata Reza. Ia menambahkan ia telah meraih nilai 344,24 untuk menempati posisi pertama.
Di antara ambisi masa depannya, Reza mengatakan ia berharap bisa melanjutkan pendidikan tingginya di salah satu universitas terbaik di dunia, seperti University of Oxford di Inggris. Tapi kalau ia gagal, ia akan bergabung di satu universitas India atau Turki.
Di negara yang dirongrong wabah berupa masalah keamanan, Reza telah mendapat ucapan selamat dari banyak pihak dan dari jauh.
"Saya bertemu dengan Presiden Ashraf Ghani dan Kepala Eksekutif Dr. Abdullah Abdullah di kantor mereka. Di sana, mereka mengucapkan selamat dan memuji saya atas kemenangan itu," kata Reza, yang menambahkan sebelumnya Kementerian Pendidikan Tinggi dan Menteri Urusan Luar Negeri Salahuddin Rabbani juga telah memuji dia atas keberhasilannya.
Ayah Reza, Ewaz Mohammad --yang menjadi pekerja di Departemen Kebersihan Kota Praja Kabul, tak bisa secara memadai mendukung keluarganya-- yang terdiri atas tujuh orang, dengan gaji bulanannya, yang hanya berjumlah 6.000 afghani (sekitar 88 dolar AS). Tapi ia mendorong putranya agar mengikuti kursus tambahan, selain mempelajari pelajaran sekolahnya.
"Bersama dengan sumbangan ayah saya, saya menambah bayaran yang diperlukan untuk belajar dengan dana yang saya kumpulkan melalui penjualan karpet kecil," kata Reza. Ia berterima kasih kepada orang tuanya karena tak menyia-nyiakan upaya untuk mendukung pendidikannya.
Ayah Reza mengatakan ia dipaksa meninggalkan Provinsi Bamyan karena alasan ekonomi, jadi ia pergi ke Kabul untuk mencari pekerjaan.
"Di sini, di Ibu Kota Afghanistan, Kabul, saya bekerja di bagian kebersihan di Kota Praja Kabul. Setiap bulan, saya memperoleh gaji 6.000 afghani," kata Ewaz.
Lebih dari 147.000 dari hampir 169.000 peserta ujian lulus ujian masuk universitas tahun ini. Sebanyak 55.000 di antara siswa tersebut diperkirakan mendaftar di lembaga pendidikan tinggi swasta, tempat mereka harus membayar uang kuliah.
(Uu.C003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017