Bogor (ANTARA News) - Seorang analis politik menilai ada sebuah pola konsisten yang dilakukan Australia untuk terus-menerus memanfaatkan isu-isu yang terkait dengan masalah Timor Timur (Timtim) guna menghantam Indonesia dan pihak yang selalu mendapatkan citra negatif adalah Indonesia. Kasus paling terbaru adalah "Insiden Penyerahan Surat Balibo Five" yang menimpa Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, Selasa (29/5) oleh dua polisi Sydney, yang bertugas untuk "Coroners Inquest" kasus "Balibo Five" 1975, yang secara tidak sopan menyerahkan surat undangan pemberian keterangan di pengadilan setempat. "Isu Timtim selalu jadi `critical point` dalam hubungan RI-Australia. Ada pola konsisten (yang dianut) Australia untuk memakai isu (Timtim), yang di Australia sendiri masih `layak jual`," kata staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Djuanda (Unida) Bogor, Drs Denny Hernawan MA , Rabu pagi. Ia mengemukakan hal itu saat diminta komentarnya atas "Insiden Penyerahan Surat Balibo Five" yang menimpa Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. "Balibo Five" 1975 adalah perkara lima wartawan terbunuh di Timor Timur pada tahun itu, yang disidangkan di negara bagian tersebut. Gubernur Sutiyoso tidak dapat menerima penyampaian surat yang dihubungkan dengan penyelidikan atas kasus tewasnya lima wartawan Australia di Balibo (Balibo Five) di Timtim 1975 itu, karena hal tersebut tidak ada dalam daftar kegiatan kunjungannya di Sydney. Kejadian ini bermula dari datangnya dua petugas ke kamar Hotel Shangri-La Sydney, tempat Sutiyoso menginap dengan cara masuk ke kamar hotelnya menggunakan kunci master kamar hotel. Juru Bicara KBRI Canberra, Dino Kusnadi, mengatakan akibat insiden yang terjadi di kamar Hotel Shangri-La Sydney No 3107 tempatnya menginap itu, Gubernur Sutiyoso dan rombongan pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengunjungi Sydney sebagai tamu Pemerintah Negara Bagian New South Wales (NSW) itu mempersingkat kunjungannya. "Pak Sutiyoso dan rombongan sudah pulang ke Jakarta via Singapura dengan pesawat yang berangkat dari Bandara Internasional Sydney, Selasa malam pukul 22.00 waktu setempat. Dengan demikian beliau membatalkan rencana kunjungannya ke Canberra pada 30 Mei," katanya. Tentang kronologis kejadian, Dino mengatakan kedua polisi itu menemui Gubernur Sutiyoso yang sedang berada di kamarnya dengan menggunakan kunci master (master key) hotel, kendati yang membukakan pintu kamar itu adalah seorang petugas hotel yang mendampingi mereka. "Kejadian itu terjadi sekitar pukul 16.00 waktu Sydney. Gubernur Sutiyoso tidak bersedia ditemui dan meminta ajudan untuk menemui kedua polisi ini di luar kamar. Gubernur Sutiyoso yang meminta mereka keluar," katanya. "Di situlah baru diketahui tujuan kedua polisi itu untuk menemui dia. Gubernur Sutiyoso merasa tersinggung karena keberadaannya di Sydney adalah sebagai tamu pemerintah New South Wales, dan penyerahan surat pemanggilan itu sama sekali tidak ada dalam daftar acara beliau," katanya. Akibat insiden ini, Gubernur Sutiyoso dan rombongan membatalkan kunjungannya ke Canberra pada 30 Mei 2007. Dalam amatan Denny Hernawan, hubungan antara RI-Australia semasa pemerintahan PM John Howard memang lebih banyak hal negatifnya ketimbang citra positif yang diperoleh Indonesia. "Memang ada pasang-surut dalam hubungan antarnegara bersahabat. Namun dalam kasus RI-Australia semasa John Howard ini, citra buruk lebih banyak diperoleh Indonesia," kata master lulusan Universitas Wisconsin di Amerika Serikat (AS) itu. Layak dipertimbangkan Mengingat citra buruk yang terus diperoleh Indonesia, saat elemen di Australia memanfaatkan isu-isu Timtim, ia melihat bahwa penurunan kadar hubungan diplomatik perlu sangat layak untuk dipertimbangkan. "Menarik lagi untuk sementara Duta Besar (Dubes) RI di Canberra sangat layak dipertimbangkan. Ini (penarikan Dubes) itu adalah sebuah simbol, yang secara diplomatik bisa dibaca Australia," katanya. Argumentasi bahwa panggilan yang disampaikan dua polisi Sydney itu dari pengadilan lokal, yang yurisdiksinya hanya di wilayah itu saja dan tidak berlaku di luar wilayah Australia, dinilai Denny Hernawan sebagai tak lebih dari kebiasaan "basa-basi diplomatik", yang sudah berulangkali disampaikan jika ada insiden RI-Australia. "Kalau sudah seperti ini, kita merindukan para pemimpin seperti Presiden Soekarno dan (mantan) PM Malaysia, Mahathir Mohammad, sehingga sebuah bangsa bisa tampil tegak, dan tidak terus-menerus dilecehkan bangsa lain," katanya. "Sikap tegas itu tidak harus berkaitan dengan nasionalisme atau tidak, tapi kasus-kasus semacam ini, yakni arogansi yang ditunjukkan Australia, tak ada yang bisa menjamin tidak terulang lagi," katanya. Pada Selasa (29/5) malam, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyatakan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang menerima surat undangan pemberian keterangan dari pengadilan Sydney mengenai kasus "Balibo Five" 1975, tidak harus memenuhi panggilan tersebut. "Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah diplomatik mengenai masalah tersebut dan saya sudah berbicara secara langsung kepada Duta besar Australia untuk Indonesia Bill Farmer agar menghubungi pemerintah federal Australia," katanya. Menurut dia, Bill Farmer telah menghubungi pemerintah pusat Australia dan telah menyampaikan kedudukan Gubernur Sutiyoso sebagai pejabat asing, yang memiliki kekebalan seperti tercantum dalam undang-undang kekebalan warga asing. "Sebagai pejabat asing, Gubernur Sutiyoso tidak bisa dipanggil menghadap pengadilan, karena ada undang-undang kekebalan warga asing," katanya. Berdasarkan atas hukum Australia, Gubernur Sutiyoso tidak wajib memenuhi panggilan tersebut. "Pemerintah Australia tidak akan menganggap masalah itu dapat memengaruhi hubungan Indonesia dengan Australia, karena gugatan itu berasal dari pengadilan lokal, yang yurisdiksinya hanya di wilayah itu saja dan tidak berlaku di luar wilayah Australia," katanya. Sedikit-banyak, kata dia, pemerintah Australia memberi jaminan kepada Indonesia agar tidak mengkhawatirkan masalah tersebut. "Saya berharap masalah itu tidak berkembang menjadi lebih buruk, karena pada awalnya, Gubernur Sutiyoso datang ke Australia diundang oleh pemerintah Australia," katanya. Pihak Markas Besar Tentara Nasional Indonesia hari Selasa menyatakan siap menjelaskan keberadaan Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta, saat bertugas sebagai anggota TNI di Timtim pada 1975. "Beliau (Sutiyoso) adalah mantan anggota TNI dan menyangkut Timor Timur. Kita akan bantu mencari tahu penugasannya di sana," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Pertama Sagom Tamboen. "Bagaimanapun, yang bersangkutan bukan lagi anggota TNI, berarti tidak lagi menjadi tanggung jawab TNI. Tapi, ketika masih bertugas menjadi tanggung jawab TNI," kata Sagom Tamboen. Sebelumnya, mantan PM Australia Gough Whitlam, yang memberikan keterangan di pengadilan Sydney pada 8 Mei, menyatakan tidak pernah melihat dokumen apa pun, yang menunjukkan tentara Indonesia memerintahkan pembunuhan terhadap lima wartawan Australia di Balibo, Timtim, tahun 1975 itu. Whitlam memenuhi panggilan pengadilan untuk memberikan bukti terkait dengan kematian Brian Peters, salah satu dari lima wartawan Australia, yang tewas dalam peliputan di Timtim tahun 1975. Menurut mantan politisi itu, yang ketika itu menjabat perdana menteri Australia, satu bulan sebelum kejadian tersebut, ia mengingatkan salah seorang dari lima wartawan tersebut bahwa pemerintah tidak punya cara untuk melindungi mereka saat mereka bepergian ke Timor Timur. Wartawan itu tetap pergi, kata Whitlam dalam kesaksiannya di pengadilan tersebut. Ia pertama kali mendengar kabar kematian kelima wartawan itu lima hari setelah kejadian tersebut, ketika diberitahu tentang "pesan tentara Indonesia, yang disadap", yang menyebutkan bahwa ada empat tubuh warga kulit putih di Balibo. Whitlam mengatakan tidak melihat ada dokumen atau bahan apa pun, yang menunjukkan bahwa orang Indonesia sedang merencanakan pembunuhan wartawan tersebut dan tidak pula ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa para wartawan itu sengaja dijadikan sasaran. (*)
Copyright © ANTARA 2007