New York (ANTARA News) - Sebanyak 15 anggota Dewan Keamanan PBB pada Rabu sore (30/6) akan melakukan `voting` (pemungutan suara) untuk mengesahkan rancangan resolusi PBB tentang pemberlakuan pengadilan khusus bagi para tersangka pembunuh mantan perdana menteri Lebanon, Rafik Hariri. Kendati beberapa negara --terutama Amerika Serikat dan Perancis-- menunjukkan keyakinan bahwa rancangan resolusi tersebut bisa `gol`, resolusi diperkirakan dapat disahkan namun tidak dengan suara bulat karena masih adanya negara-negara yang keberatan, termasuk Rusia dan Indonesia. "Pemungutan suara akan dilakukan besok (Rabu) sore," kata Duta Besar AS untuk PBB, Zalmay Khalilzad, kepada wartawan di Markas Besar PBB, New York, Selasa. Rusia --anggota tetap Dewan Keamanan dengan hak veto (menolak)-- beserta beberapa negara anggota tidak tetap, termasuk Indonesia, Afrika Selatan, dan Qatar, masih menunjukkan keberatan terhadap isi rancangan resolusi yang menurut mereka mengarah kepada pengambilalihan kewenangan dari pemerintah Lebanon. Negara-negara tersebut menganggap rancangan resolusi, terutama dengan dimasukkannya Bab 7 Piagam PBB, merupakan praktek pengambialihan kewenangan konstitusional dalam negeri Lebanon oleh Dewan Keamanan PBB. Bab 7 Piagam PBB memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan , jika terjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Keberatan juga mereka sampaikan berkaitan dengan waktu yang dianggap tidak tepat bagi DK-PBB untuk mencampuri proses di Lebanon yang saat ini masih berada dalam perpecahan antar pihak serta situasi yang penuh dengan konflik bersenjata dan aksi kekerasan, termasuk pemboman. Menurut beberapa sumber di kalangan PBB, Indonesia juga menunjukkan keberatan terhadap tenggat waktu yang diberikan oleh Dewan Keamanan, yang dalam rancangan resolusi disebutkan bahwa DK-PBB memberi kesempatan terakhir bagi Lebanon sendiri untuk segera meratifikasi pemberlakukan pengadilan pembunuhan Hariri. Jika Lebanon tidak dapat melakukannya, demikian ancaman rancangan resolusi, maka Dewan Keamanan yang menentukan tentang pemberlakuan pengadilan khusus akan mulai berlaku pada 10 Juni 2007. "Mereka (Indonesia, red) menganggap tenggat waktu seperti itu tidak tepat di tengah situasi keamanan dan politik yang sedang panas saat ini di Lebanon," kata seorang diplomat internasional. Beberapa negara anggota, termasuk Indonesia, juga menganggap bahwa dengan mengesahkan resolusi, Dewan Keamanan telah berpihak kepada salah satu kubu, yaitu Perdana Menteri Fuad Siniora. Suara Bulat Secara terpisah, Dubes Zalmay Khalilzad dan Dubes Perancis untuk PBB Jean-Marc de La Sabliere mengatakan voting sudah saatnya harus dilakukan mengingat sejumlah perubahan terhadap isi resolusi telah dilakukan sejak rancangan diedarkan kepada para anggota DK-PBB pada akhir pekan lalu. Keduanya juga menyadari adanya kemungkinan bahwa resolusi tidak akan disahkan dengan suara bulat. "Ada beberapa pandangan berbeda. Tapi saya yakin suara yang terkumpul akan cukup membuat Dewan Keamanan untuk maju melangkah," kata Khalilzad. (There are also some different views. But I believe there are sufficient votes now in the SC to move forward). "Kami meminta supaya ada konsensus tapi masih ada beberapa anggota yang mengatakan mereka tidak dapat sependapat dengan kami," kata de La Sabliere. (We have asked for concensus but there are still some members who according what they have said today could not join us). Pengadilan khusus tentang pembunuhan Hariri sebenarnya sudah dibentuk melalui perjanjian bilateral antara PBB dan Pemerintah Lebanon pada 23 Januari dan 6 Februari 2007. Pembentukan pengadilan itu sendiri akan berlaku jika sudah diratifikasi oleh Parlemen Lebanon tetapi karena terjadi jalan buntu, Perdana Menteri Siniora telah mengirim surat yang meminta Dewan Keamanan membantu menetapkan masa berlaku pengadilan tersebut. Namun ternyata, pada saat yang hampir bersamaan, PBB juga menerima surat dari Presiden Lebanon Emil Lahoud yang justru menolak campur tangan Dewan Keamanan dalam menentukan masa berlaku pengadilan dengan alasan hal itu merupakan masalah konstitusional dalam negeri. Lahoud juga mengingatkan bahwa campur tangan DK justru akan dapat memicu destabilasi di negara yang saat ini menghadapi masalah rekonsiliasi di antara berbagai pihak.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007