Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia meminta kepada pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengintensifkan kerja sama di bidang pendidikan dan latihan militer internasional (IMET) bagi para perwira menengah Tentara Nasional Indonesia (TNI). "Saya imbau international military education and training (IMET) tetap diberikan kepada kapten hingga mayor karena 10 tahun ke depan mereka akan menjadi pengelola TNI dan Dephan," kata Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono usai menerima kunjungan kehormatan Asisten Deputi Menlu AS Bidang Urusan Asia Pasifik Cristopher Hill, di Jakarta, Selasa. Dalam pertemua itu, ungkap Menhan, Hill kembali mempertanyakan perkembangan reformasi TNI dan perkembangan perencanaan pertahanan indonesia. Terkait itu, Juwono menjelaskan, beberapa peristiwa terutama pertanggungjawaban tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di beberapa tempat di Indonesia sudah ditindaklanjuti secara hukum. Ia mengakui, masih ada persoalan penuntasan citra masa lampau, terutama yang berhubungan dengan akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto yang merupakan beban warisan. Semisal, pelanggaran berat, penculikan, dan peranan TNI di beberapa wilayah rawan konflik, seperti di Poso dan Papua. "Kita sampaikan mereka (TNI-red) dipasang untuk mendukung polisi karena kita komitmen untuk mengedepankan polisi, jaksa dalam rangka penegakan supremasi sipil," tutur Juwono. Pemberian IMET bagi perwira TNI sempat tersendat karena beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus Timika pada 2003 yang menewaskan dua orang warga AS. Padahal, bagi Indonesia IMET bukan merupakan panacea (obat mujarab) bagi reformasi militer. Banyak perwira TNI dididik di AS pada 70-an sampai awal 90-an, tetapi pelanggaran HAM terus terjadi. Jadi kunci terhadap reformasi militer terletak pada kemauan pemerintah RI sendiri, bukan pada program IMET, kata Menhan.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007