"Kami menyebut teknologi ini multistage precipitation atau pengendapan pengotor bertingkat menghasilkan NaCl bebas pengotor," kata Mohamad Khotib, peneliti sekaligus dosen dari IPB yang mengembangkan teknologi "multistage precipitation", di Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Khotib telah meneliti garam sejak 2011 skala laboratorium, lalu tahun 2015 mulai meneliti teknologi penghasil garam berkualitas.
Tahun 2017, dirinya bersama peneliti dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) berkolaborasi mengembangkan teknologi pengendapan bertingkat untuk skala lapangan melalui dana hibah Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi.
"Tahun ini uji coba skala lapangan mulai dilakukan di tambak garam Madura seluas empat hektare," katanya.
Ia menjelaskan karakteristik teknologi produksi garam yang digunakan oleh petani lokal Indonesia masih sangat sederhana, proses produksi berdasarkan penguapan matahari, sehingga bergantung pada cuaca.
Mengaplikasikan geoisolator dan teknologi tersebut telah membantu mengurangi kotoran fisik dari garam sehingga garam lebih putih.
Karakteristik lainnya, petani garam mengaplikasikan sistem ulir yang memperpanjang jalur penguapan sehingga menambah waktu pengendapan pengotor lebih maksimal.
Garam yang dihasilkan oleh petani memiliki karakteristik yaitu kadar NaCl rata-rata berkisar 85 sampai 97 persen (dry basis), katanya.
Ia mengatakan agar garam petani dapat diterima pasar maka harus memenuhi persyaratan. Pasar Indonesai memiliki klasifikasi persyaratan berupa SNI 01-4435-2000 garam bahan baku untuk industri garam beryodium, SNI 01-3556-2000 Garam konsumsi beryodium, garam kualitas 1 (NaCl > 98 persen dan kadar air maksimum 4 persen), kualitas 2 (94.4 persen < NaCl < 98 persen dan kadar air maksimum 5 persen), kualitas 3 (NaCl <94 persen dan kadar air 55 persen).
Untuk memenuhi persyaratan kualitas tersebut, kata Khotib, dibutuhkan sentuhan teknologi yang saat ini dikembangkan oleh IPB dan UTM. Teknologi Multistage Presipitation untuk pemurnian garam sudah dikembangkan sejak 2015.
"Prinsip teknologi ini adalah mengendapkan pengotor secara bertingkat, yakni pertama, pengendapan anion, pengendapan kation, dan pengoksidasi," katanya.
Ia menyebutkan, teknologi tersebut telah diujicobakan untuk purifikasi garam rakyat (90 persen) menjadi 99,6 persen dalam skala 100 liter pada tahun 2016 melalui hibah CPPBT Ristek Dikti.
Menurutnya, komponen biaya paling besar dari purifikasi garam dengan teknologi tersebut berasal dari proses pengkristalan garam menggunakan pasa listrik atau gas.
"Penelitian ini terus dikembangkan, tahun 2017 ini IPB dan UTM melakukan uji coba skala tambak untuk meminimalkan biaya kristalisasi, karena prosesnya pengkristalan menggunakan panas matahari dan angin," katanya.
Sedangkan untuk penghilang pengotor, lanjutnya, menggunakan teknologi multistage precipitation dapat menyediakan konsentrat NaCl yang telah bebas pengotor. Konsentrat NaCl dapat disimpan dan diuapkan kapan saja sesuai kondisi kebutuhan dan kondisi cuaca. Penguapan atau kristalisasi ini akan menghasilkan garam dengan kadar NaCl sesuai kebutuhan. Maksudnya, jika pengotor dihilangkan secara maksimal akan diperoleh kadar NaCl > 99 persen.
"Teknologi ini mampu memproduksi garam dengan kualitas yang dipersyaratkan peraturan," kata Khotib.
Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Kajian Stategis IPB, Prof Hermanto Siregar menambahkan, garam adalah persoalan yang strategis dari segi nilainya pengeluaran rumah tangga tidak seberapa, tetapi kalau garam menjadi kebutuhan pokok akan sangat terasa apabila keberadaannya berkurang.
"Harapan banyak pihak Indonesia mampu memproduksi sendiri, karena potesi sumberdayanya yang sangat besar. Alangkah disayangkan jika potensi ini tidak digunakan dengan baik, akan menjadi pembuangan devisa. Perguruan tinggi mencoba menangkap ini, sesuai mandatnya, secara teknis menghasilkan teknologi yang diharapkan bisa diaplikasikan oleh masyarakat dan swasta," kata Hermanto.
(Baca: Lima mahasiswa ITS ciptakan mesin pengering padi)
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017