Jakarta (ANTARA News) - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai Undang-Undang Pemilu perlu segera diratifikasi agar penyelenggara pemilu dapat memformulasikan peraturan yang memiliki kepastian hukum.
"Dengan diundangkannya UU Pemilu, penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu bisa segera mungkin mengesahkan peraturan mereka yang sesuai UU Pemilu baru itu. Jadi ada kepastian hukum," kata Deputi Direktur Perludem Khoirunnisa Agustyati di Kantor KPU, Jakarta, Jumat.
Dia juga menjelaskan pada Pasal 167 ayat (6) UU Pemilu disebutkan, tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
"Jika merujuk pada kesepakatan pembahasan RUU Pemilu, Pemilu 2019 akan dilaksanakan pada April 2019. Jadi ketika mengacu pada pasal 167 berarti tahapan Pemilu 2019 semestinya sudah dimulai pada Agustus 2017. Persoalanya kemudian, sampai hari ini secara formal UU Pemilu tersebut belum mendapatkan nomor," terang dia.
Peluang tertundanya tahapan Pemilu Serentak 2019 itu seharusnya menjadi salah satu alasan kuat bagi pemerintah untuk mempercepat pengundangan UU Pemilu, kata Khoirunnisa pula.
"Selain itu, jika dalam perjalanannya terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Pemilu, maka penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk melakukan revisi terhadap ketentuan tersebut. Ini makanya Presiden diminta mengundangkan UU Pemilu," tambah dia.
Pada 21 Juli 2017, DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang Pemilu menjadi UU yang kelak menjadi payung hukum Pemilu Serentak 2019. Namun, sampai saat ini, Presiden Joko Widodo tidak juga mengundangkan UU Pemilu tersebut.
Khoirunnisa kemudian mengatakan jika merujuk pada UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kurang lebih ada dua tahapan yang perlu dilalui pasca disetujuinya RUU menjadi UU dan memperoleh nomor.
Pertama, Pasal 72 ayat (1) dan (2) menjelaskan setelah disetujui secara bersama oleh DPR dan Presiden, pimpinan DPR menyampaikan RUU yang telah disepakati untuk menjadi UU kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama tujuh hari, yang berarti 28 Juli 2017 adalah batas waktu penyampaian UU tersebut kepada Presiden.
Kedua, RUU yang sudah disepakati dan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden disahkan oleh Kepala Negara dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari, terhitung sejak RUU tersebut disetujui, sebagaimana diatur di dalam Pasal 73 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012.
Lebih lanjut Pasal 73 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2012 menjelaskan jika sampai dengan waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani, RUU tersebut secara otomatis sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dengan kata lain, batas akhir Presiden menandatangani RUU Pemilu adalah 30 hari kalender sejak disahkan pada 21 Juli 2017, ungkapnya.
"Walaupun Presiden masih diberikan cukup waktu untuk membubuhkan tanda tangan terhadap UU Pemilu ini, alangkah jauh lebih baik Presiden sesegera mungkin mendatangani dan mengundangkannya dengan beberapa alasan tadi," kata Khoirunnisa.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017