... mimpi yang menjadi kenyataan. Saya berjuang mengejar mimpi dengan dukungan berbagai pihak. Saya lahir dari keluarga yang sederhana, mimpi saya ini menjadi sesuatu yang mustahil untuk tercapai...Jakarta (ANTARA News) - Dua pemuda asal Papua, Herman Zonggonau dari Suku Moni, dan Amianus Wamang dari Suku Damal, dinyatakan lulus dan diwisuda sekolah penerbang Genesa Flight Academy, Jakarta pada 21 Juli lalu.
"Ini mimpi yang menjadi kenyataan. Saya berjuang mengejar mimpi dengan dukungan berbagai pihak. Saya lahir dari keluarga yang sederhana, mimpi saya ini menjadi sesuatu yang mustahil untuk tercapai," kata Zonggonau, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
"Biaya pendidikan sekolah penerbangan mencapai Rp1 miliar, belum ditambah dengan pelatihan keahlian khusus untuk penambahan rating," kata dia. Ia mengaku sejak kecil bercita-cita menjadi pilot.
Kini, bersama Wamang, mereka siap berkiprah di dunia penerbangan, terkhusus di Papua.
"Saya akan mengabdi di Papua. Saya akan melayani warga Papua yang ingin menuju wilayah-wilayah di seluruh pelosok Papua," katanya.
Menurut dia, luas Papua, provinsi paling timur Indonesia, mencapai hampir 21 persen dari wilayah Indonesia.
Ditambah dengan kondisi alamnya yang unik, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah Provinsi Papua, bermobilisasi.
"Berjalan kaki puluhan kilometer bagi masyarakat pedalaman untuk mencapai pusat kota adalah hal yang biasa," katanya.
Pengalaman itu yang kemudian berdampak pada mimpi sebagian anak-anak Papua menjadi pilot agar keluar dari keterpencilan, melihat dunia lain, dan mengejar ketertinggalan.
Mereka masuk Genesa Flight Academy sejak 2013, setelah dinyatakan lolos seleksi program beasiswa khusus Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro yang merupakan lembaga pengelola dana kemitraan PT Freeport Indonesia bagi pengembangan masyarakat.
Kini, bersama Wamang, mereka siap berkiprah di dunia penerbangan, terkhusus di Papua.
"Saya akan mengabdi di Papua. Saya akan melayani warga Papua yang ingin menuju wilayah-wilayah di seluruh pelosok Papua," katanya.
Menurut dia, luas Papua, provinsi paling timur Indonesia, mencapai hampir 21 persen dari wilayah Indonesia.
Ditambah dengan kondisi alamnya yang unik, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah Provinsi Papua, bermobilisasi.
"Berjalan kaki puluhan kilometer bagi masyarakat pedalaman untuk mencapai pusat kota adalah hal yang biasa," katanya.
Pengalaman itu yang kemudian berdampak pada mimpi sebagian anak-anak Papua menjadi pilot agar keluar dari keterpencilan, melihat dunia lain, dan mengejar ketertinggalan.
Mereka masuk Genesa Flight Academy sejak 2013, setelah dinyatakan lolos seleksi program beasiswa khusus Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro yang merupakan lembaga pengelola dana kemitraan PT Freeport Indonesia bagi pengembangan masyarakat.
Genesa Flight Academyberlokasi di Jakarta dengan praktik lapangan di Bandara Cilacap, Jawa Tengah.
Menurut dia, sebelum memasuki masa studi, peserta program mendapatkan bimbingan mental dan psikis dari Yayasan Bina Teruna Bumi Cendrawasih, sebagai mitra Biro Pendidikan LPMAK untuk mendampingi peserta program.
Mereka berdua menempuh studi selama tiga tahun di Genesa.
"Beasiswa adalah kesempatan bukan hak, paradigma ini dibangun untuk mendorong mental anak-anak dari tujuh suku untuk bersaing dan meraih peluang. Ada empat komitmen pendampingan yang diterapkan yakni membangun iman yang teguh, karakter yang kuat, pengetahuan yang memadai dan skill (kemampuan)," ujar Ketua Yayasan Binterbusih Paul Sudiyo.
Ia menambahkan tantangan terbesar pendampingan adalah dalam memberikan motivasi dan bimbingan, agar menjadi pribadi yang disiplin, bertanggung jawab dan berkomitmen menyelesaikan studi.
Menurut dia, sebelum memasuki masa studi, peserta program mendapatkan bimbingan mental dan psikis dari Yayasan Bina Teruna Bumi Cendrawasih, sebagai mitra Biro Pendidikan LPMAK untuk mendampingi peserta program.
Mereka berdua menempuh studi selama tiga tahun di Genesa.
"Beasiswa adalah kesempatan bukan hak, paradigma ini dibangun untuk mendorong mental anak-anak dari tujuh suku untuk bersaing dan meraih peluang. Ada empat komitmen pendampingan yang diterapkan yakni membangun iman yang teguh, karakter yang kuat, pengetahuan yang memadai dan skill (kemampuan)," ujar Ketua Yayasan Binterbusih Paul Sudiyo.
Ia menambahkan tantangan terbesar pendampingan adalah dalam memberikan motivasi dan bimbingan, agar menjadi pribadi yang disiplin, bertanggung jawab dan berkomitmen menyelesaikan studi.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017