... ada teknologi dengan mengalirkan air garam, berputar-putar untuk meningkatkan konsentrasinya...Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi garam dengan proyek percontohan di NTT.
"Kami bisa memproduksi garam lebih efisien, lebih cepat. Lahan selama ini terlalu sempit, petani memasukkan air garam, 14 hari, diuapkan. Kalau hujan, habis. Nach, ada teknologi dengan mengalirkan air garam, berputar-putar untuk meningkatkan konsentrasinya," kata Kepala BPPT, Unggul Priyanto, di Jakarta, Jumat.
Hal itu dia bilang usai rapat dengan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, di rumah dinas Kalla, didampingi Menko Maritim, Luhut Pandjaitan, dan Menko Perekonomian, Darmin Nasution.
Priyanto menjelaskan, dengan teknologi itu, diperlukan lahan cukup luas untuk menampung air laut yang akan dikristalisasi dalam empat hari. Begitu konsentrasi tinggi, baru dialihkan ke lahan petani.
Dengan teknologi itu maka petani bisa panen garam dalam empat hari dari sebelumnya yang membutuhkan waktu 12 hari.
Diharapkan ke depan tidak perlu lagi mengimpor garam karena dengan teknologi bisa menghasilkan 50.000 ton garam per tahun. Adapun garam yang diperlukan adalah garam untuk industri dan garam untuk konsumsi.
Selama ini, secara tradisional petambak garam tidak memakai sentuhan teknologi apapun, bahkan alas kolam-kolam pengeringan air laut. Alhasil, bahan garam yang dihasilkan cukup kotor sehingga perlu dibersihkan dan lain sebagainya.
Pada sisi lain, akses mereka kepada perbankan juga masih sangat terbatas sementara keperluan modal mereka cukup tinggi untuk tingkat kemampuan ekonomi mereka.
Selain menghasilkan garam, teknologi itu juga dapat menghasilkan produk lain. Misalnya air laut yang sudah dipakai, bisa ditampung, bisa dimanfaatkan untuk industri hilir, di antaranya dijadikan bahan baku minuman isotonik. Lahan luas juga bisa ditebar benih untuk makan ikan.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain NTT teknologi itu juga bisa diterapkan di NTB, Sulawesi Selatan, Jeneponto, yang merupakan daerah produksi.
Deputi Bidang Teknologi Agro industri dan Bioteknologi BPPT, Eniyah L Dewi, menjelaskan, dibutuhkan lahan seluas 400 Hektare, dua waduk dan 300 Hektare untuk evaporasi agar pemanfaatan teknologi bisa optimal. Lahan petani garam saat ini sekitar 25.000 Hektare.
"Kalau ekspansi lahan, ke NTT yang lebih memungkinkan. Kalau di Jawa Madura, kebanyakan lahan sudah milik petani, maka harus ada solusi lain untuk bisa melakukan seperti itu. Bisa saja petani dikoordinasikan untuk menjadi satu corporate. Itu lagi dijajak dengan Jawa Tengah," ujar Dewi.
Selain menghasilkan garam, teknologi itu juga dapat menghasilkan produk lain. Misalnya air laut yang sudah dipakai, bisa ditampung, bisa dimanfaatkan untuk industri hilir, di antaranya dijadikan bahan baku minuman isotonik. Lahan luas juga bisa ditebar benih untuk makan ikan.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain NTT teknologi itu juga bisa diterapkan di NTB, Sulawesi Selatan, Jeneponto, yang merupakan daerah produksi.
Deputi Bidang Teknologi Agro industri dan Bioteknologi BPPT, Eniyah L Dewi, menjelaskan, dibutuhkan lahan seluas 400 Hektare, dua waduk dan 300 Hektare untuk evaporasi agar pemanfaatan teknologi bisa optimal. Lahan petani garam saat ini sekitar 25.000 Hektare.
"Kalau ekspansi lahan, ke NTT yang lebih memungkinkan. Kalau di Jawa Madura, kebanyakan lahan sudah milik petani, maka harus ada solusi lain untuk bisa melakukan seperti itu. Bisa saja petani dikoordinasikan untuk menjadi satu corporate. Itu lagi dijajak dengan Jawa Tengah," ujar Dewi.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017