Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hilmar Farid mengatakan sastra bisa menjadi satu alat yang semakin merekatkan persaudaraan antar negara-negara di Asia Tenggara.
"Ini pastinya gampang-gampang susah, tapi sebenarnya negara di Asia Tenggara ini punya sejarah keterikatan sastra yang panjang, dari ratusan tahun yang lalu," katanya saat memberikan kuliah umum pada pembukaan Festival Sastra Asia Tenggara keempat di kompleks Kota Tua, Jakarta, Kamis malam.
Dia mencontohkan kisah Panji dari Jawa Timur sebagai salah satu kesamaan sastra yang juga ada di beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Thailand meski dengan nama yang berbeda.
Selain itu kisah Mahabrata juga punya jejak yang sama di negara-negara ASEAN walaupun bentuk di negara yang satu dengan yang lain bisa berbeda.
"Yang lain adalah, kepercayaan dan ketakutan kita dengan hantu atau roh. Kita punya karakter perempuan yang mati karena melahirkan, di Thailand ada nangnak, di Filipina ada aswang, ada matianak atau kuntilanak, bahkan di Indonesia ada kota dengan nama Pontianak yang berdasarkan literasi yang sama. Karakter ini pun sangat populer dan diadaptasi ke dalam film , cerita, buku, hingga program TV," kata Hilmar.
Memasuki era modern, kesamaan sastra ini terus berlanjut salah satunya lewat konsep sunyi yang sering muncul dalam karya-karya penulis Asia Tenggara untuk mengekspresikan carut marutnya kondisi di era itu.
Di Indonesia, pada 1937 Amir Hamzah dari kelompok Pujangga Baru telah memulainya lewat "Njanji Soenji" dengan mengumpulkan 24 puisi dan satu karya tanpa judul miliknya.
Di era sastra kontemporer, ada Pramudya Ananta Toer yang cukup kuat menyampaikan konsep sunyi tersebut lewat karya seperti "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" yang dia tulis ketika mendekam di Pulau Buru.
Menurut dia, Festival Sastra Asia Tenggara ini bisa menemukan dan mengembangkan makna dari keterkaitan antara negara-negara di Asia Tenggara lebih dari ikatan politik dan ekonomi yang sudah dimiliki lebih dulu.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017