Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa pihaknya siap menguji konstitusionalitas semua peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang (UU) yang selama ini merupakan wilayah kerja Mahkamah Agung (MA).
Menurut Jimly, hingga saat ini wilayah kerja MK adalah menguji konstitusionalitas UU, dalam arti menilai apakah suatu UU bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan, MA berwenang untuk menilai legalitas aturan di bawah UU apakah sesuai dengan UU terkait.
Jimly mengatakan, sampai saat ini belum ada mekanisme kontrol terhadap aturan di bawah UU agar tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Jangan-jangan ada Perda yang bertentangan dengan konstitusi," katanya.
Menurut Jimly, pengalihan wewenang pengujian peraturan di bawah UU dari MA ke MK sangat wajar untuk melakukan pengujian segala tingkat aturan dalam satu atap.
Selain itu, katanya, MA adalah institusi yang sangat sibuk dengan tunggakan perkara yang sangat banyak, sehingga pelimpahan kewenangan itu akan meringankan kerja MA.
Untuk itu, Jimly mengusulkan, paling tidak perlu ada perubahan pasal 24 A UUD 1945 yang mengatur tentang MA.
Dalam pasal itu dinyatakan, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU.
Apabila perubahan UUD 1945 dirasa terlalu jauh, katanya, bisa dibuat suatu UU yang menyatakan penanganan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU dilakukan oleh MK.
"Tetapi, untuk itu harus ada kesepakatan antara MK, MA, DPR, dan Presiden," katanya.
MK adalah lembaga negara yang kehadirannya diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian dipertegas dalam UU Nomor 24 Tahun 2003.
Hingga saat ini, MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Kemudian MK juga berwenang memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007