"Guru boleh tidak tahu dan jangan malu untuk mengakui kesalahannya," ujar Henny dalam diskusi Pendidikan Penguatan Karakter di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan guru yang mengakui kesalahannya, tahu lingkungannya dan ingin memperbaikinya, menunjukkan bahwa dia memiliki kemerdekaan berpikir. Jika itu terjadi, maka masyarakat tak perlu lagi khawatir dengan pendidikan karakter anak.
Selain itu, guru yang dibutuhkan dalam penguatan karakter adalah guru yang siap menjadi murid.
"Guru yang siap menjadi murid maka dia menyadari bahwa dirinya bukan satu-satunya sumber ilmu".
Selain perubahan paradigma terhadap guru, Anggota Tim Penguatan Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Prof Djoko Saryono mengatakan pendidikan penguatan karakter dan literasi sangat diperlukan karena mengembalikan pada pendidikan berkebudayaan.
"Pendidikan tidak lagi menyiapkan anak ke dalam slot pekerjaan dan tidak lagi mencari tetapi juga menjadi pribadi yang kuat serta ada kompetensi yang diiringi dengan kualitas karakter," ujar Djoko.
Jika ada yang kuratif dan preventif tersebut itu soal lain. Tetapi pendidikan penguatan karakter dan gerakan literasi diiringi juga bersama antisipasi perubahan yang destruktif.
Jadi bukan sekadar menyembuhkan penyakit tetapi pendidikan karakter memulangkan kembali ke substansi pemberdayaan sehingga menjadi pribadi utuh yang berakhlak mulia.
"Anak sekarang tidak hanya disebut generasi milenial tetapi juga di sisi lain sebagai "strawberry gen". Indah, enak tapi gampang rusak. Oleh karena itu perlu pendidikan penguatan karakter yang tepat untuk generasi ini," harap dia.
"Anak sekarang tidak hanya disebut generasi milenial tetapi juga di sisi lain sebagai "strawberry gen". Indah, enak tapi gampang rusak. Oleh karena itu perlu pendidikan penguatan karakter yang tepat untuk generasi ini," harap dia.
Pewarta: Indriani
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017