Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengingatkan fenomena kemarau basah yang kerap membuat panen garam menjadi terhambat, harus bisa diantisipasi pemerintah dengan menggunakan prediksi dan kajian data cuaca.
"Jika permasalahan dasarnya tidak cepat diselesaikan, maka yang dirugikan adalah para petambak garam. Mereka akan terus terpuruk jika kemarau basah terus berkepanjangan," kata Sekjen Kiara Susan Herawati Romica, Sabtu.
Dia juga menyoroti, akibat produksi garam yang terhambat, banyak petambak garam yang beralih profesi menjadi buruh kasar di berbagai kota di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Kiara pada 2017 ini mencatat, dalam lima tahun terakhir jumlah petambak garam di Indonesia menurun drastis dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa pada tahun 2016.
Susan menyatakan bahwa kebijakan impor garam berimplikasi besar terhadap penurunan jumlah petambak garam di Indonesia.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan krisis garam yang terjadi selama beberapa pekan terakhir merupakan imbas dari cuaca buruk berkepanjangan selama kurun 1-2 tahun terakhir, sehingga produksi tambak garam turun drastis.
Di Jawa Timur kalau mataharinya bagus, produk garam mencapai 174 ribu ton per bulan. "Maka, karena ini terlalu banyak hujan dan sering kondisinya mendung, (produksi) turun menjadi 123 ribu ton, sehingga minus," kata Soekarwo usai menghadiri peringatan Hari Koperasi di GOR Lembu Peteng Tulungagung, Jumat (21/7).
Selain itu, lanjut Soekarwo, kualitas produk garam di Jatim ikut turun sebagai dampak curah hujan yang tinggi.
Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat mencatat produksi garam rakyat anjlok dari angka 178.605 ton pada 2015 menjadi hanya 24.307 ton tahun 2016 akibat anomali cuaca.
"Penurunan produksi drastis sekali karena cuaca tidak menentu, kadang panas, kadang hujan, sehingga petani tidak bisa panen secara normal," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Nusa Tenggara Barat (NTB) H Lalu Hamdi, di Mataram, Selasa (25/7).
Menurut dia, kenaikan harga, kata Hamdi, tentu memotivasi para petani garam untuk meningkatkan produksi demi mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Namun, upaya tersebut masih dihadapkan pada kondisi anomali cuaca, sehingga produksi belum bisa maksimal.
Sedangkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jatiwangi Majalengka, Jawa Barat, mengimbau kepada para petani garam untuk menggali informasi terbaru terkait cuaca, hal ini untuk meminimalkan kerugian.
"Karena dengan mengetahui informasi cuaca secara update, akan meminimalisir kerugian dan bisa meningkatkan hasil garam," kata Prakirawan Cuaca BMKG Jatiwangi, Ahmad Faa Iziyn di Majalengka, Senin (10/7).
Faa Iziyn, mengatakan, informasi BMKG sudah dipublikasikan melalui sejumlah media sosial seperti Facebook, Twitter, serta RRI.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017