Jakarta (ANTARA News) - "Semoga ini yang terakhir", demikian harapan yang dikemukakan banyak kalangan sepak bola Indonesia menanggapi kepergian Ricko Andrean Maulana, suporter Persib yang tewas akibat penganiayaan saat menyaksikan kompetisi Liga 1 baru-baru ini.

Harapan seperti itu sebenarnya sudah lama dikemukakan, karena tragedi yang menimpa Ricko adalah bukan yang pertama dalam persepakbolaan di Tanah Air.

Pada tahun ini saja, sebelum Ricko, sudah jatuh korban bulan Mei lalu, juga akibat pengeroyokan usai pertandingan Liga 1.

Menurut catatan Save Our Soccer (#SOS), lembaga pemerhati sepak bola nasional, jika dihitung mulai 1995, sudah 56 orang yang meninggal dunia akibat bentrokan antarsuporter sepak bola di Indonesia.

Kematian Ricko menjadi sorotan dari berbagai pihak, dan layak menjadi bahan perenungan bagi semua pihak, termasuk oknum-oknum di kalangan suporter sepak bola sendiri.

Ricko, yang merupakan suporter Persib (Bobotoh), justru tewas oleh oknum-oknum Bobotoh sendiri yang mengira ia adalah suporter Persija.

Pemuda 22 tahun itu menjadi martir ketika ia mencoba menyelamatkan suporter Persija yang sedang dianiaya oleh oknum Bobotoh.

Peristiwa ini cukup tragis, karena sosok Ricko sebagai orang yang berusaha membangun kedamaian antarsuporter, justru harus kehilangan nyawa.

"Pelampiasan dan bully yang selama ini terjadi menjadi pelajaran bahwa fanatisme yang berlebihan dapat mengakibatkan emosi kebablasan hingga akhirnya kena teman sendiri" kata Wali Kota Bandung Ridwan Kamil saat mengunjungi Ricko yang ketika itu masih terkapar di rumah sakit.

Antisipasi terjadinya bentrok antarsuporter di Stadion GBLA Bandung itu sebenarnya sudah dilakukan panitia, mengingat rivalitas antarsuporter Persija dan Persib selama ini sangat rentan kerusuhan.

Panitia sudah menyiapkan tiga layar besar di luar stadion untuk menampung animo warga, khususnya pendukung tim tuan rumah Persib, yang tidak kebagian tiket masuk stadion.

Pemeriksaan ketat juga sudah dilakukan oleh panitia didampingi polisi di setiap pintu masuk stadion untuk mencegah penonton membawa benda tajam dan mencegah penyusup tanpa tiket.

Sulit menjamin bahwa tidak ada lagi korban berjatuhan di arena sepak bola yang seharusnya justru sebagai ajang untuk membangun persatuan, jika tidak ada langkah-langkah kongkret untuk mengatasi masalah tersebut.

PSSI sendiri setelah perisitiwa ini, mengungkapkan rencana untuk membentuk divisi khusus dalam organisasinya yang bertugas melakukan pendekatan terhadap suporter dan komunitas sepak bola.

Langkah itu diambil PSSI sebagai langkah untuk menyikapi masih terjadinya kekerasan antar-suporter di Indonesia.

"PSSI mengetahui bahwa perhatian terhadap fans di Indonesia perlu mendapatkan porsi khusus. Divisi khusus area fans dan community engagement ini secara langsung akan bertindak untuk mengatasi hal-hal dan kejadian sekitar fans dan pendukung sepak bola Indonesia," kata Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria.


Langkah Kongkret

Sementara itu Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi akan mengundang seluruh pimpinan suporter klub-klub sepak bola di Indonesia, agar tidak terulang lagi kerusuhan seperti pada laga Liga 1 yang menewaskan Ricko Anderan Maulana.

"Langkah konkret kami, yaitu mengundang seluruh pimpinan suporter klub sepak bola Tanah Air untuk melakukan kesepakatan damai nasional suporter Indonesia," kata Menpora.

Menpora mengatakan deklarasi damai itu direncanakan berlangsung pada awal Agustus, baik untuk klub-klub di Liga 1 maupun klub-klub di Liga 2.

Selain langkah hukum oleh kepolisian terhadap para pelaku kekerasan, apalagi yang hingga menyebabkan kematian, perlu ada regulasi di antara para stake holder persepakbolaan nasional untuk mencegah terjadinya bentrok antarsuporter.

Pemerintah, PSSI, klub-klub, koordinator suporter, semua harus terlibat dan bertangggung jawab untuk mencegah jatuhnya korban.

"Tidak ada satu kemenangan pun yang sebanding dengan nyawa" tulis pemain senior Persija Bambang Pamungkas dalam akun twitternya, menanggapi tragedi yang menewaskan Ricko tersebut.

Sejumlah negara di Eropa, dimana kompetisi sepak bola sudah ada lebih dari satu abad, juga telah menerapkan regulasi ketat sehingga jumlah korban dapat ditekan secara drastis.

Misalnya Inggris yang terus melakukan pembenahan terkait penanganan suporter, terutama sejak tragedi Stadion Heysel yang menewaskan 39 orang di tahun 1985.

Sejumlah langkah dilakukan, seperti meniadakan tiket berdiri, mendisain ulang stadion, mewajibkan kartu anggota bagi kelompok suporter, serta sejumlah regulasi dan ancaman sanksi tegas bagi pelaku keonaran.

Klub-klub yang suporternya terus melakukan tindak kerusuhan, juga harus sadar diri untuk melakukan langkah-langkah kongkret. Dan jika tidak bisa, sebaiknya membubarkan diri sebelum jatuh korban berikutnya.

Oleh Teguh Handoko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017