Siang itu, wajah Mulyono tampak cerah ketika keluar dari ruang dapurnya yang sederhana dan berbentuk setengah permanen.
Mantan tukang becak yang kemudian memilih menjadi relawan kebersihan di masjid agung di pusat kota marmer itu lalu duduk santai di tengah ruangan, rumah mungil yang menjadi tempat tinggalnya selama ini di Dusun Kebonagung, Desa Rejoagung, Tulungagung.
Di dekatnya duduk, tas koper haji seukuran dua karung beras kapasitas medium ditaruh di atas dipan. Rupanya Mbah Mulyono baru saja berkemas ulang.
Ia memastikan seluruh barang bawaannya telah lengkap tidak terlewat, sebelum mengikuti tahapan awal keberangkatan calon haji kloter 9 pada 29 Juli pukul 15.00 WIB.
Dipandanginya tas koper haji miliknya itu lama-lama dan menghela nafas panjang. Rasa syukurnya seakan tak pernah putus.
Dalam satu perbincangan, Mulyono mengaku ibadah haji untuk menunaikan ibadah rukun Islam ke lima laiknya mimpi yang tak akan pernah kesampaian.
Angannya yang dulu hanya segenggam mimpi. Latar belakangnya yang hanya seorang tukang becak dengan tiga anak angkat membuat Mulyono hanya bisa berdoa.
"Semoga Engkau beri hambaMu ini kesempatan memeluk dan mencium Hajar Aswad-Mu yaa Rabb", begitulah penggalan doa yang selalu dipanjat Mulyono tiap kali bersujud usai shalat di Masjid Agung Al-Munawar, dari waktu ke waktu.
Sampailah suatu ketika Mulyono pada sekitar 2011 menghadiri ziarah haji salah seorang anggota jamaah masjid Al-Munawar. Mimpi dan angan Mulyono yang sudah kian uzur tiba-tiba membuncah.
Sepulang dari ziarah, Mulyono "kelepasan" mencurahkan isi hatinya tentang menunaikan ibadah suci itu ke istrinya yang sudah almarhum, Muslikah, dan terdengar anak bungsunya, Lilik Mulyani (29).
"Sebelum daftar, ayah saya ini sempat curhat, apakah bisa berangkat haji dengan gaji segitu. Saya bilang, kalau Allah menghendaki pasti bisa," kata Lilik bertutur.
Rasa sayang kepada sang ayah, mendorong hati bungsu tiga bersaudara yang baru saja diterima menjadi guru honorer ini untuk berikhtiar mencari informasi pendaftaran haji yang terjangkau.
"Dari situlah saya mendapat informasi program dana talangan haji yang dikeluarkan sebuah bank syariah," kata Lilik yang kini sedang mengandung dengan usia kehamilan muda.
Atas permintaan Lilik, pihak bank lalu memesan kursi untuk Mulyono, senilai Rp25 juta.
Namun kabar baik tak langsung disampaikan Lilik kepada bapaknya yang tiap siang berangkat ke Masjid Al-Munawar yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya dengan jalan kaki.
Disimpannya dulu, sampai akhirnya pada November 2011, Lilik resmi mendaftarkan haji sang bapak dengan mahar atau biaya awal Rp2,5 juta.
Dana talangan Rp 25 juta itulah yang harus diangsur Mulyono selama enam tahun. Dari jadwal tunggu, seharusnya Mulyono berangkat pada 2021 mendatang.
"Bapak beruntung jadwal keberangkatannya maju, beberapa tahun lebih awal berkat adanya penambahan kuota haji dari pemerintah Arab untuk Indonesia, serta sebagian calon peserta haji yang menunda keberangkatan dengan berbagai alasan," tutur Lilik.
Usia Mulyono yang masuk kategori lanjut usia atau lansia memperlapang jalannya untuk segera menjejak Tanah Suci, Makkah. Mulyono mendapat jatah prioritas.
Ya, menurut Lilik, jalan ayahnya menuju tanah suci mendapatkan kemudahan. Setelah melakukan pelunasan pada Bulan Juni, ada pemberitahuan bahwa Mulyono lolos dan akan diberangkatkan tahun ini. Setelah dicek di Kantor Kementerian Agama Tulungagung, nama Mulyono memang tercantum.
Mulyono diminta melakukan pelunasan, sebesar Rp11 juta.
Uang Celengan dan Infaq
Lilik mengatakan, meski terlibat dalam pendaftaran awal untuk keberangkatan haji, semua biaya yang diperlukan berasal dari hasil jerih payah ayahnya. Terutama dari infaq jamaah yang tergerak hatinya, setelah tahu Mulyono akan berangkat haji.
Sebelumnya Mulyono sempat mengeluhkan sakit, karena menjadi perokok berat. Jantungnya juga bermasalah. Namun setelah cek kesehatan, Mulyono dinyatakan sehat.
"Di KBIH tempat ayah saya ini ada tujuh orang lansia. Ayah saya satu-satunya yang tidak memerlukan pendamping," tutur Lilik.
Mulyono adalah petugas kebersihan Masjid Agung Al Munawar Tulungagung, sejak 30 tahun silam. Setiap bulan ayah tiga anak dan kakek lima cucu ini mendapat upah Rp300 ribu.
"Dari dulu honornya ya segitu tidak pernah berubah. Tapi saya selalu mensyukurinya, karena niatan saya adalah untuk ibadah," tutur Mulyono.
Alhamdulillah, meski kecil Mulyono tidak pernah kekurangan. Sedekah dan infaq mengiringi perjalanan hidupnya meski tidak pasti.
Perlahan namun pasti, uang lelah bekerja sebagai relawan kebersihan di masjid Al-Munawar ia kumpulkan. Demikian pula infaq, sebagian diberikan almarhum istrinya Muslikah, dan sebagian dia tabung secara konvensional di sebuah kotak bekas kaleng roti.
Setelah terdaftar resmi di salah satu bank syariah atas bantuan putri bungsunya, setiap bulan Muyono tertib mengangsur pembayaran sebesar Rp500 ribu.
Seluruh uang hasil jerih payahnya membersihkan masjid digunakan untuk membayar angsuran, ditambah uang tabungan yang selama bertahun-tahun dia kumpulkan.
"Begitu saya niat berangkat haji, banyak jamaah yang memberi infaq kepada saya. Hasilnya dikumpulkan untuk angsuran. Kalau ada sisa dipakai untuk keperluan," tutur Mulyono.
Dari banyak infaq itu pula Mulyono terbantu melakukan pelunasan yang nilainya sekitar Rp11 juta.
Kini setelah semuanya administrasi dan persyaratan terpenuhi, Mulyono yang telah mengikuti seremoni pelepasan bersama 1.102 calon jamaah haji se-Tulungagung kini fokus pada latihan fisik.
Ia berolahraga rutin berjalan mengelilingi kompleks sisi luar Stadion Rejoagung, Tulungagung rata-rata 10 kali putraran setiap harinya.
Selain hatinya yang tengah bahagia, pria sepuh ini mengaku sudah tidak sabar ingin segera terbang ke Tanah Suci Makkah, dan menyentuh Hajar Aswad yang menjadi simbol inti rumah Allah (Baitullah). (*)
(Baca juga: Tukang becak yang naik haji)
Oleh Destyan Handri Sujarwoko
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017