Makassar (ANTARA News) - Wakil Presiden HM Jusuf Kalla menjanjikan persoalan ganti rugi lahan tahap dua di Tol Reformasi yang belum dibayarkan sejak 17 tahun terletak di Kelurahan Kaluku Bodoa, Kecamatan Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan segera diselesaikan.
"Nanti diselesaikan," singkat Jusuf Kalla menegaskan usai menerima Tanda Kehormatan Anugerah Unismuh Makassar Pertama di Kampus Unismuh Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Pihaknya menjanjikan persoalan sisa pembayaran ganti rugi lahan yang kini menjadi akses jalan tol senilai Rp9 miliar lebih, yang belum dibayarkan Kementerian Prasarana Umum dan Perumahan Rakyat sejak 2001-2017 kepada ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya, akan segera diselesaikan.
Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum pendamping ahli waris, Andi Amin Halim Tamatappi saat dikonfirmasi menyatakan berterima kasih atas respon Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menginginkan adanya itikad baik penyelesaian masalah tersebut.
Dirinya beserta ahli waris berharap dukungan pemerintah utama Wakil Presiden segera menyelesaikan persoalan yang sudah berjalan puluhan tahun itu, mengingat seluruh upaya telah ditempuh, memblokir tol beberapa kali hingga harus dibubarkan paksa petugas kepolisian hingga melakukan aksi di Istana Presiden, Jakarta.
"Kami berharap pak JK selaku orang Sulsel menyelesaikan masalah ini yang sudah berjalan 17 tahun. Kami sudah menempuh semua jalan, tapi tidak mendapat tanggapan. Dari legalitas hukum kami sangat kuat, tapi disisi eksekusi kami tidak punya daya, pak JK harus segera menyelesaikan ini," harapnya.
Dengan adanya sinyal dari Wapres tersebut, pihaknya kembali berbesar hati bahwa keadilan itu ada dan hak-hak ahli waris yang sudah menunggu puluhan tahun akan segera terselesaikan.
Diketahui, saat pembebasan lahan tahap pertama dulunya bernama Departemen PU pembayaran dilakukan pada 2001 seluas dua pertiga lahan seluas dua hektar lebih senilai Rp2,5 miliar lebih. Sisanya 48.222 meter persegi belum dibayarkan senilai Rp9 miliar lebih.
Penundaan pembayaran itu dikarenakan terjadi perseteruan sesama ahli waris, sehingga ditunda. Namun belakangan muncul ahli waris lain mengaku lahan tersebut miliknya bernama Ince Baharuddin, belakangan diketahui adalah mafia tanah.
Persoalan ini pun berperkara di Pengadilan Negeri Makassar. Ironinya, majelis hakim memutuskan Ince Baharuddin bersama kroninya menang atas dasar foto copy dari surat asli yang sudah digandakan milik ahli waris sah.
Tidak berhenti sampai disitu, ahli waris melalui kuasa hukumnya mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA) melalui Peninjauan Kembali (PK). Alhasil, permohonannya dikabulkan MA dengan nomor 17/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010 memerintahkan Kementerian PU segera membayarkan sisa ganti rugi.
Kementerian PU PR pun tidak bergeming membayarkan sisa ganti rugi tersebut, karena beralasan pihak Ince Baharuddin juga punya putusan MA nomor 266/PK/Pdt/2013 memenangkan Ince Baharuddin, padahal dalam putusan asli dimenangkan ahli waris Intje Koemala.
Kendati demikian, pihak Kementerian PU PR tidak ingin gegabah selanjutnya meminta surat fatwa dari MA terkait persoalan itu berdalih ada dua versi yang mengklaim lahan tol dan takut salah bayar, padahal faktanya, sudah membayar pembebasan lahan tahap pertama kepada ahli waris Intje Koemala.
Meski surat diajukan pada pertengahan 2016 dan baru keluar pada Agustus 2017 yang memberikan penjelasan bahwa putusan berkekuatan hukum tetap tidak bisa ditafsirkan melalui fatwa MA.
Jawaban itu tentang pemberian penjelasan terhadap putusan perkara pengadaan tanah Tol Reformasi Makassar atas nama Intje Koemala kepada Mahkamah Agung (MA) tertanggal 18 Agustus 2016.
Redaksi dalam suratnya bernomor 1572/PAN/HK.01/5/2017 menegaskan bahwa MA tidak dapat memberikan jawaban atau pandangan hukum atas permasalahan hukum yang terkait dengan putusan pengadilan ataupun perkara yang sedang ditangani atau potensial menjadi perkara di pengadilan.
Disebutkan bahwa pendapat hukum MA hanya diberikan oleh majelis hakim dalam putusan yang mengadili perkara pada tingkat kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan badan-badan peradilan di bawahnya yang dipandang tidak benar dan tidak adil.
Pewarta: Darwin Fatir
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017