Jakarta (ANTARA News) - Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengemukakan, tidak mudah melakukan
impeachment terhadap presiden/wakil presiden karena jika hal itu tetap ingin dilakukan maka proses yang harus dilalui berpotensi menimbulkan gempa politik yang luar biasa bagi bangsa ini.
Hal itu disampaikan Hidayat Nurwahid seusai melantik dua anggota MPR di Gedung DPD/MPR di Senayan Jakarta, Senin. Dua anggota MPR yang dilantik itu adalah Mustokoweni Murdi dari Fraksi Partai Golkar (FPG) yang menggantikan Yahya Zaini dan Pariama Mbyo dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sulawesi Tenggara menggantikan Almarhum Yokoyama Sinapoy.
Nurwahid mengemukakan, saat ini telah ada pengamat politik yang mengembangkan wacana
impeachment terhadap presiden/wakil presiden.
Wacana itu dikembangkan terkait perkembangan persidangan Tipikor mengenai aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke tim sukses Capres/Cawapres pada tahun 2004. "Wacana seperti itu sekalipun secara normatif tidak bisa dilarang, namun dampaknya harus dipikirkan betul," katanya.
Nurwahid mengemukakan, UUD 1945 memang mengatur tentang
impeachment. Tetapi
impeachment merupakan sesuatu yang serius dan bukan sesuatu yang main-main.
"Dampak dari
impeachment adalah bila presiden terbukti dan kemudian MPR menyatakan dimakzulkan melalui proses di DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengharuskan diberlakukannya Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 yang kami warisi dari MPR di masa lalu," katanya.
Namun pasal tersebut tidak memberi solusi yang tuntas. "Bahkan mengambang dan akan bisa menghadirkan Indonesia entah bagaimana kondisi dan nasibnya pada hari yang ke-31," katanya.
Jika Pasal itu diberlakukan, maka dalam waktu 30 hari, Indonesia dipimpin oleh triumvirat (Menlu, Mendagri dan Menhan). Dalam waktu 30 tahun, MPR mengadakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari pasangan yang diajukan parpol yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Artinya, parpol yang akan mengajukan adalah parpol yang mengajukan SBY/JK dan parpol yang mengajukan Mega/Hasyim.
"Bagaimana bila dalam waktu 30 hari gabungan parpol gagal mengajukan calon presiden yang mereka ajukan," katanya.
Parpol yang mengajukan SBY-JK adalah Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB) dan PKPI. Jumlah kursi tiga partai politik itu hanya 70-an kursi. Dengan jumlah itu, maka mustahil bisa mendapat dukungan parpol lain di MPR dengan jumlah anggota MPR 678 kursi.
Padahal ketiga partai itu saat ini belum tentu harmonis. "Dulu mereka harmonis karena ada kesamaan, tetapi sekarang bagaimana karena Pak SBY sudah me
reshuffle Pak Yusril. Apa hubungan PD dan PBB masih harmonis," katanya.
Dengan hubungan yang tidak harmonis lagi tentu gabungan partai politik itu tidak bisa mengajukan calon presiden/wakil presiden dalam waktu 30 hari, dan MPR tidak bisa menghadirkan sidang paripurna.
"Kalau MPR gagal menghadirkan sidang paripurna dalam waktu 30 hari, maka siapa pemimpin bangsa ini pada hari ke-31. Tidak ada ketentuan UUD. Sangat mengerikan akan masa depan Indonesia," katanya.
MPR juga tidak bisa melakukan amandemen terhadap Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 karena sampai sekarang tidak ada usulan mengenai hal itu. Yang ada hanya usulan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengenai amandemen Pasal 22D.
"Usul dari DPD yang hanya satu pasal saja sudah menimbulkan gempa politik luar biasa. Sampai kami harus melakukan pengendapan selama 90 hari," kata Nurwahid.
Nurwahid mengemukakan, gempa politik terhadap usulan DPD itu sudah demikian besar. "Bagaimana besarnya (gempa politik) bila dilakukan pembahasan mengenai pasal
impeachment dan di MPR kekuatan terbesar bukan di Partai Demokrat atau PDIP, tetapi di Golkar dan DPD. Bagaimana kalau (Golkar dan DPD) melakukan manuver yang lain?," katanya.
Karena itu, Nurwahid mengajak, elit nasional untuk menahan diri dan menyelesaikan polemik dana DKP dan dana asing dalam Piplres 2004 ke jalur hukum. Namun proses hukum jangan diwarnai rekayasa, klaim sepihak dan fitnah, tetapi hukum yang berbasis bukti dan fakta," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007