Langkah tersebut dipandang sebagai upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya karena secara finansial menjatuhkan sanksi kepada pemimpin terpilih karena kebijakan pemerintah dan merupakan yang terbaru dalam rentetan sengketa hukum yang harus Yingluck hadapi sejak tersingkir dari jabatannya.
Perdana menteri perempuan pertama Thailand itu, yang pemerintahannya digulingkan dalam kudeta 2014, sudah menghadapi satu dekade hukuman penjara karena dituduh gagal menghentikan korupsi dalam program subsidi yang menyasar basis pertanian partainya.
Dia juga dipecat secara secara retroaktif tak lama setelah kudeta, sebuah langkah yang melarangnya terlibat dalam urusan politik selama lima tahun.
Tim hukum Yingluck sebelumnya mengajukan petisi terhadap penetapan denda satu miliar dolar AS (sekitar Rp13,3 triliun) - mengurangi jumlah aset sekitar 18 juta dolar AS (sekitar Rp239,7 miliar) yang dia umumkan ke publik.
Namun Kementerian Keuangan Thailand menyatakan pada Senin bahwa tindakan itu dilakukan menjelang perintah dan rencana penyitaan sedikitnya 12 rekening milik politikus itu sebagai langkah awal.
Pengacara Yingluck pada Selasa mengonfirmasi bahwa sedikitnya ada tujuh rekening yang sudah dibekukan.
"Bangkok Bank memberi tahu kami bahwa tujuh rekening-rekening bank sudah dibekukan dan tidak bisa digunakan untuk melakukan transaksi," kata Noppadon Laowthong kepada kantor berita AFP.
Yingluck, yang pendukungnya menuduh junta melancarkan serangan politik terhadap dia sejak berkuasa, menyatakan bahwa dia tidak bersalah lewat Twitter.
"Saya siap membuktikan ketidakbersalahan saya dan bahwa saya tidak melakukan sesuatu yang salah dalam pernyataan terakhir saya pada 1 Augustus," tulis dia merujuk pada tahap terakhir pengabaiannya terhadap sidang pidananya terkait skema beras. Keputusan sidang itu dijadwalkan diumumkan pada 25 Agustus.(kn)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017