Jakarta (ANTARA News) , - KPK akan memeriksa Direktur Pengembangan Bisnis Riset dan Teknologi PT Pembangunan Perumahan (PP) Persero Lukman Hidayat dalam penyidikan tindak pidana korporasi dalam pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2011.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka PT Duta Graha Indah (DGI) yang telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
Dalam penyidikan kasus tersebut, kata Febri, KPK juga telah memeriksa 27 orang saksi.
"Sampai hari ini sudah diagendakan pemeriksaan terhadap 27 orang saksi dalam dalam proses penyidikan untuk tersangka PT DGI," kata Febri.
Febri menyatakan sebagian besar dari unsur saksi itu adalah pegawai dan pejabat PT DGI atau PT NKE dan juga ada beberapa saksi dari unsur BUMN.
KPK resmi menetapkan PT Duta Graha Indah (DGI) tersangka tindak pidana korporasi dalam pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010.
"Penetapan PT DGI sebagai tersangka merupakan pengembangan dari penyidikan perkara yang sama dengan tersangka sebelumnya, yaitu Direktur Utama PT DGI Dudung Purwadi (DPW) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Universitas Udayana Made Meregawa (MDM)," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Senin (24/7).
Syarif menyatakan PT DGI yang saat ini telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE) diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang ain atau suatu korporasi.
"Terkait pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010 dengan nilai proyek sekitar Rp138 miliar," kata Syarif.
Menurut Syarif, diduga telah terjadi kerugian negara sekitar Rp25 miliar dalam pelaksanaan proyek tersebut.
PT DGI disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Syarif menegaskan penetapan pidana korporasi tersebut menjadi terobosan baru bagi KPK.
Menurut dia, dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi beberapa waktu lalu semakin meyakinkan KPK untuk menyidik korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi.
Hal tersebut, kata dia, atas dasar bahwa korporasi dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana dan sebagai sarana untuk menyembunyikan hasil kejahatan dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana.
"Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana korporasi diperlukan untuk menghentikan keadaan tersebut. Sebagai syarat pemidanaan, tugas penegak hukum harus dapat membuktikan kesalahan korporasi," ucap Syarif.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017