Yogyakarta (ANTARA News) - Presiden tidak wajib hadir memenuhi panggilan Badan Musyawarah (Bamus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjawab interpelasi terkait dukungan terhadap resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai pengembangan nuklir Iran. "Tidak substansial jika kita mempermasalahkan siapa orang dari pemerintah yang menjawab interpelasi tersebut," kata pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Purwo Santoso, Minggu. Menurut Purwo, yang terpenting adalah jawaban pemerintah terhadap pertanyaan menyangkut kebijakan mendukung Resolusi DK PBB, apakah masuk akal atau tidak. "Presiden atau menteri yang nantinya menjawab interpelasi, tidak menjadi persoalan," kata dia. Ia mengatakan sikap Indonesia selanjutnya terhadap Resolusi 1747 itu tergantung dari kalkulasi politik yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (RI). "Sedangkan aspirasi politik yang berkembang di Indonesia lebih condong terhadap Iran," katanya. Sehingga ada kesenjangan antara aspirasi politik dan kebijakan yang menjadi pilihan pemerintah. Menurut dia, inilah saatnya Indonesia menunjukkan perannya dalam dunia Internasional. "Interpelasi bertujuan agar wakil rakyat bisa mengoreksi kesenjangan antara aspirasi rakyat dan kebijakan luar negeri pemerintah tersebut," kata Purwo. Menurutn dia, interpelasi adalah upaya wakil rakyat mengajukan pertanyaan kepada pemerintah terkait kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Permasalahannya bukan terletak pada berhasil atau tidaknya interpelasi tersebut. Karena itu, pemikiran kita tidak boleh hanyut oleh pertengkaran para elite politik. "Pokok persoalannya adalah bagaimana mengurangi kesenjangan antara aspirasi rakyat dan aspirasi pemerintah," kata Purwo. (*)
Copyright © ANTARA 2007