Darwin (ANTARA News) - DPR tak akan sulit meratifikasi Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia yang ditandatangani menteri luar negeri kedua negara November 2006, namun tidak begitu dengan perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) dengan Singapura, kata anggota Komisi I DPR, Abdillah Toha. "Bagi kita tidak sulit untuk meratifikasi Perjanjian Lombok jika isinya yang kita dengar bahwa ada dua prinsip yang dipegang Australia, yakni menghormati integritas teritorial Indonesia, dan Australia tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia," katanya kepada ANTARA di Canberra, Sabtu. Menurut Abdillah Toha, yang kembali ke Tanah Air, Sabtu, setelah mengikuti lokakarya antaranggota parlemen kedua negara, ia tidak bisa berkomentar banyak tentang DCA sebelum bertemu dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono Senin (28/5). "Soal DCA, kita tidak bisa komentar banyak karena kita belum lihat kecuali di koran. Tapi yang kita lihat pada prinsipnya, yang utama itu adalah apapun perjanjian kita dengan luar negeri, terutama yang menyangkut masalah pertahanan, jangan sampai melanggar kedaulatan kita," katanya. "Jangan sampai mengganggu keutuhan teritorial kita. Itu penting dan prinsip itu yang harus kita lihat. Kemudian kalau kita memberikan fasilitas yang begitu banyak kepada Singapura, itu juga harus terlebih dahulu dilihat keuntungan apa yang juga bisa kita dapatkan," kata Abdillah Toha. Politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR itu mengatakan prinsip tersebut harus benar-benar diperhatikan, terlebih lagi umumnya anggota DPR dan masyarakat Indonesia kecewa dengan kemunculan DCA yang tiba-tiba di saat para negosiator kedua negara membicarakan Perjanjian Ekstradisi. "Orang Singapura itu kan otak dagang. Saya kasih kamu `extradition` (ekstradisi), tapi kamu kasih saya DCA. Inikan otak dagang. Orang kita juga mudah ditekan, padahal kita tidak pernah bicara satu paket. Tidak pernah," katanya. Dikatakannya Perjanjian Ekstradisi kedua negara itu sempat tidak selesai-selesai kalau tidak setengah "diancam Komisi I DPR dengan meminta pemerintah tidak mengirim ini dan itu, termasuk duta besar" ke Singapura. "Rupanya mereka (Singapura) belakangan baru sadar bahwa parlemen ini serius. Tapi kemudian otak dagang mereka itu keluar, ekstradisi diteken, tapi (Singapura minta) DCA diteken juga." Abdillah Toha mengemukakan DCA sebenarnya kelanjutan dari kesepakatan kedua negara tentang wilayah latihan militer (MTA), namun karena Singapura "agak nakal", MTA dihentikan. "Singapura agak nakal karena ketika diberikan `military training area`, mereka kemudian mengajak Amerika Serikat dan negara-negara lainnya untuk mengikuti latihan perang-perangan tanpa seizin kita dan tanpa mengajak kita. Tapi katanya yang baru ini tidak lagi begitu, melainkan atas seizin kita dan sepengetahuan kita. Kita akan lihat, kita tidak mau berprasangka. Tapi itu prinsip-prinsip (tidak melanggar kedaulatan NKRI) yang akan dipegang Komisi I dalam melihat DCA," katanya. Sependapat dengan Abdillah Toha, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Yorrys Raweyai, mengatakan DPR dan pemerintah masih belum memiliki persepsi yang sama tentang Perjanjian Ekstradisi yang dipaketkan oleh Singapura dengan penandatanganan. "Masalah ini sangat penting karena masih belum dicapai kesamaan persepsi antara pemerintah dan DPR. DPR sendiri masih meminta pemerintah memberikan ke kita supaya kita bisa mempelajarinya dulu," katanya. Abdillah Toha dan Yorrys Raweyai berada di Canberra bersama empat anggota Komisi I DPR lainnya guna memenuhi undangan Pusat Instutisi Demokratis (CDI) Australia tentang peran komite parlemen dalam proses pembuatan kebijakan pada 25 Mei lalu. (*)
Copyright © ANTARA 2007